Jumat, 16 Januari 2009

Mengembalikan Pamor Taman Jurug

oleh Heri Priyatmoko


Beberapa waktu lalu Taman Satwa Taru Jurug (TSTJ) menjadi sorotan media lokal. Tim evaluasi dan pembinaan dari berbagai elemen ”menyerbu” TSTJ. Seperti yang diberitakan Joglosemar pada bulan Desember 2008, tim itu terdiri dari unsur Ditjen Perlindungan Hutan dan Kelestarian Alam (PHKA) Departemen Kehutanan (Dephut), Dirjen Bina Pembangunan Daerah (Bangda) Depdagri, dan Perhimpunan Kebun Binatang se-Indonesia (PKBSI). Mereka sidak ke TSTJ lantaran kondisi taman satwa beserta isinya dikabarkan memprihatinkan dan pengelola TSTJ yang ”tak jelas”.
Namun demikian, Dephut masih memberi hati dengan tidak menarik koleksi satwa TSTJ. Tapi, pihaknya menuntut keseriusan Pemkot Surakarta dalam mengelola Taman Jurug. Sementara itu, Walikota Solo Joko Widodo menargetkan revisi Perda Taman Jurug akan selesai dua hingga tiga bulan ke depan. Agar usaha tersebut tepat sasaran, Jokowi meminta pendampingan PKBSI, termasuk pantauan terkait kondisi satwa.
Memang beberapa tahun terakhir, taman yang berlokasi di tepi Bengawan Solo ini merana tak terpelihara dan terabaikan. Pada hari Minggu maupun hari libur lainnya tempat ini sepi peminat, dan hanya berjubel saat acara larungan Joko Tingkir. Sesudahnya kembali lengang. Dalam riwayatnya, Taman Jurug yang resmi berdiri tahun 1983 tersebut bermula dari dipindahkannya beberapa koleksi satwa yang ada di Kebon Rojo (Sriwedari) karena keberadaannya tidak lagi memadai di tengah kota. Namun, jauh sebelum itu, lokasi ini sudah ramai dipakai kawula dalem dan rakyat cilik bercengkerama. Mereka menggelar tikar menikmati semilirnya angin dan keteduhan rimbun pepohonan sehingga melahirkan ketentraman lahir dan batin. Bahkan, maestro keroncong Gesang kerab berkunjung untuk mencari inspirasi menciptakan lagu (Heri Priyatmoko, 2008).
Kebun binatang, menurut definisi ICOM (International Council of Museums) atau Dewan Museum Internasional, merupakan salah satu bagian dari museum. Sebagai museum, kebun binatang menjadi objek pendidikan sekaligus objek wisata yang bisa diandalkan (Djulianto Susantio, 2003). Sebagai objek yang rekreatif-edukatif, keberadaan TSTJ sudah mampu menghibur masyarakat. Areal di TSTJ memang luas dan banyak pepohonan yang rindang. Ini bikin pengunjung betah untuk berlama-lama di sini. Makan siang bersama di atas tikar, dinaungi teduhnya pepohonan dan semilirnya angin. Sayangnya, bila dipandang dari aspek pariwisata, TSTJ belum memiliki kelas yang berkualitas.
Kandang-kandang hewan sangat memprihatinkan, terkesan kotor dan kurang terawat. Ada gajah di TSTJ yang hamil, tetapi kondisi kandangnya tidak ideal. Gajah itu tidak punya tempat berkubang yang ideal. Masih banyak satwa dengan kondisi serupa. Padahal, menurut Koordinator Bidang Humas dan Hubungan Antarlembaga PKBSI Singky Soewadji, dua tahun lalu pernah ia minta dibangun lubang untuk buang kotoran, namun belum terlaksana jua. Singky pun tak percaya kalau pengelola TSTJ memberi makan singa dan macan, yaitu empat kilogram daging dalam sehari. Jika benar sesuai takaran itu, macan dan singa tentunya sangat gemuk (Radar Solo, 25 Desember 2008).
Masyarakat tidak usah heran kalau manajemen TSTJ kurang baik. Pasalnya, organisasi TSTJ bentuknya tidak jelas. Taman satwa ini secara struktur tidak masuk dalam SOTK (Susunan Organisasi Tata Kerja), dan ironisnya juga bukan perusahaan murni. Imbasnya, membuat TSTJ terseok-seok kesulitan untuk mendapatkan suntikan dana atau anggaran yang dibutuhkan dalam pengembangan kebun binatang.
Langkah Konkret
Sebagai salah satu taman margasatwa besar di Indonesia, TSTJ bukan hanya tempat memamerkan segala jenis satwa. TSTJ berfungsi menangkarkan satwa-satwa langka pula. Lagi pula mengingat Kota Solo yang panas dan rawan banjir, adanya TSTJ yang di dalamnya ditumbuhi pepohonan besar, sungguh membantu mengurangi polusi kota dan penyerap air.
Sepinya pengunjung domestik di TSTJ, bukan berarti mutlak akibat dari pengelolaannya yang amburadul. Ada berbagai fasilitas dan langkah yang sekiranya kurang diperhatikan pengelola TSTJ. Untuk turut serta menggairahkan Solo sebagai kota wisata, terdapat beberapa langkah konkret yang semestinya ditempuh pengelola TSTJ.
Pertama, TSTJ sebaiknya dikelola langsung oleh Pemkot dan bekerjasama dengan pihak swasta. Sebab berbagai upaya pembenahan memerlukan banyak biaya, TSTJ perlu melakukan terobosan. Nantinya diharapkan TSTJ dikelola secara profesional oleh orang-orang yang mengerti akan bidangnya. Kedua, memperbarui kandang. Kandang dibuat semirip mungkin dengan habitat aslinya. Oleh karena itu, pembuatan hutan buatan harus dikerjakan secara bersama-sama oleh seniman, teknolog, dan ilmuwan. Setiap kandang monyet, misalnya, dibuatkan pohon berikut fasilitas permainan (ban mobil, tali). Kemudian pada bagian depan kandang ditutupi kaca agar pengunjung tak bisa mengganggu hewan. Kandang mesti dibikin sejajar dengan penglihatan agar pengunjung tidak perlu bersusah payah melongok ke bawah mencari-cari suatu hewan.
Ketiga, mengembangkan atraksi hewan. Perlu ditambah dengan atraksi saat memberi makan hewan. Saban atraksi dengan jadwal yang tidak bersamaan. Keempat, menghidupkan bagian bimbingan atau edukasi. Kegiatan untuk anak-anak dan pelajar disediakan dan dibimbing tenaga profesional agar kegiatan lebih rekreatif dan edukatif. Kelima, TSTJ dituntut memiliki tenaga SDM yang andal. Setidaknya diisi oleh orang-orang yang mempunyai mimpi memajukan TSTJ, keuletan menjual TSTJ, keluwesan mempromosikan TSTJ, dan kreativitas dalam melebarkan sayap TSTJ. Keenam, menambah koleksi satwa. Misalnya, pinguin, gorila, dan beruang kutub.
Bila langkah konkret ini dilaksanakan, bukan tidak mungkin dapat mengembalikan pamor TSTJ. Dan, TSTJ akan menjadi salah satu primadona pariwisata di Kota Bengawan. Selain sebagai sarana wisata pendidikan, kebun binatang juga digunakan untuk tempat menumbuhkan kecintaan manusia pada satwa. Harapan kita bersama ialah penataan pengelolaan TSTJ segera mungkin tercapai, sebab selama ini objek pariwisata TSTJ ibarat raksasa yang masih tertidur dan harus segera dibangunkan.

(Dimuat di Joglosemar pada 10-01-2009)

Selasa, 13 Januari 2009

Doa dan Puisi

Bandung Mawardi

Puisi dan doa adalah urusan estetika dan religiositas. Puisi dan doa lahir dengan bahasa. Kata-kata memiliki peran dan kekuatan yang dikonstruksi untuk representasi atau realisasi. Puisi adalah konstruksi kata yang memiliki konvensi-konvensi estetika untuk mencapai sublimasi. Doa adalah konstruksi kata dengan konvensi-konvensi religius untuk mengucapkan dan mengungkapkan seruan, keluhan, pengharapan, dan kemauan. Doa dan puisi terus lahir dengan rahasia kata dan rahasia makna. Annemarie Schimmel (1996) menjelaskan bahwa doa adalah inti agama (lex orandi lex credendi). Doa adalah suatu pengorbanan kata.
Tradisi sufistik memiliki catatan panjang untuk kelahiran dan pewarisan doa-puisi yang mempertemukan dan meleburkan estetika religius. Kaum sufi melantunkan kata-kata yang merepresentasikan kehidupan rohani. Kata-kata itu adalah doa dan puisi yang mengantarkan manusia pada komunikasi religius dengan Tuhan. Tradisi sufi mewariskan puisi-puisi Jalaluddin Rumi, Ibnu Arabi, Ibnu ‘Atha’illah, Fakhruddin Iraqi, Rabi’ah, Fariduddin Attar, Hafidz, dan lain-lain.
Doa-puisi Jalaluddin Rumi adalah salah satu puncak manifestasi estetika religius. Schimmel membaca dan menafsirkan Rumi untuk menemukan rumusan doa dalam tradisi sufi yang memiliki keunikan dibandingkan dengan pemahaman mayoritas. Rumi diakui sebagai seorang pendoa yang fasih melantunkan puisi-puisi dengan arahan pencapaian rahasia kata dan makna untuk sampai pada pengetahuan Tuhan. Rumi mengucapkan: “Aku telah begitu banyak berdoa sehingga aku berubah menjadi doa. Setiap orang yang melihatku meminta doa dariku.” Rumi melahirkan sekian puisi dan doa yang mengantarkan manusia dalam jalan sufi. Rumi menjelma doa. Rumi adalah doa-doa yang diucapkan berabad-abad lamanya di pelbagai negeri.
Bahasa dalam doa-puisi memiliki batasan-batasan dan kemungkinan-kemungkinan makna. Bahasa manusia dikonstruksi untuk kepentingan komunikasi yang mengarah pada pelbagai ekspresi, sistem, dan mekanisme. Bahasa dalam pengertian agama mengacu pada sumber atau asal: Tuhan. Bahasa yang diolah dan dimengerti manusia dimungkinkan menjadi medium komunikasi karena kata memiliki kekuatan representasi dan realisasi. Rumi memahami kata-kata dalam kemungkinan religius untuk pengungkapan cinta pada Tuhan. Kata-kata tak sekadar materi tapi substansi yang kompleks.
Doa ada dengan basis dan orientasi ibadah. Doa adalah tindakan untuk menghadirkan hubungan manusia dengan Tuhan. Hazrat Inayat Khan (2000) menjelaskan bahwa doa bisa dimengerti dalam tiga jenis pemikiran: (1) Doa adalah rasa terima kasih kepada Tuhan; (2) Doa adalah pemujaan dari keberadaan Tuhan melalui keindahan alam; (3) Doa untuk nama dan kebenaran Tuhan.
Rumi dalam Masnawi mengabarkan bahwa doa adalah manifestasi ibadah hamba pada Tuhan. Doa merupakan ajaran-ajaran hidup yang terkandung dalam al-Qur’an dan Hadis. Doa puisi kaum sufi adalah pengetahuan yang berasal dari Tuhan dan diajarkan Nabi. Rumi mengingatkan manusia pada Hadis Nabi: “Tiada doa yang sempurna tanpa kesiapan hati.” Doa adalah persoalan iman, cinta, dan rindu pada Tuhan yang dimanifestasikan dalam bahasa.
Doa-puisi yang dilantunkan Rabi’ah menjadi babak penting dalam tradisi sufi yang memuja cinta dalam kehendak intim dan bertemu Tuhan. Rabi’ah kerap dikisahkan mengucapka doa pada malam hari. Rabiah beradad di atap rumahnya dengan mengenakan baju tidur. Inilah doa puisi indah Rabiah: “Ya Allah, Ilahi Rabbi, tampak di atas sana bintang-bintang gemerlap cahayanya. Tiap pasang mata telah terlelap tidurnya. Raja-raja telah menutup rapat pintu gerbang-gerbangnya. Tiap kekasih sedang asyik dengan yang dicintanya. Sedang aku sendiri berdua bersama-Mu.” Doa puisi Rabi’ah mengandung arti percakapan cinta dengan Tuhan. Doa itu representasi dan realisasi cinta.
Doa-puisi panjang dilantunkan Ibnu ‘Atha’illah dalam kitab Al-Hikam. Ibnu ‘Atha’illah melakukan munajat dalam doa-puisi yang kontemplatif. Kitab Al-Hikam bukan sekadar risalah tasawuf tapi manifestasi teks estetika religius. Ibnu “Atha’ilah melantunkan doa-puisi: “Tuhanku, kapan saja dosa-dosaku membungkamku, maka kemurahan-Mu membuatku berbicara, dan kapan saja sifat-sifatku membuatku putus asa, maka karunia-Mu memberiku setitik harapan.” Ibnu ‘Atha’illah hidup dalam tradisi doa dengan perspektif makrifat. Pada masa itu doa adalah perkara penting yang dipelajari dan diamalkan oleh kaum sufi dengan acuan ayat-ayat al-Qur’an.
Doa-puisi adalah manifestasi pemikiran, perasaan, renungan dalam bahasa. Doa-puisi kaum sufi merepresentasikan bahwa bahasa sebagai alat komunikasi religius dan estetis memerlukan pengolahan untuk mencapai puncak kenikmatan bahasa dan keintiman. Bahasa menjadi perkara yang menentukan nilai dan pamrih yang dikehendaki dalam doa-puisi. Pemahaman terhadap kaidah dan metafisika bahasa adalah ikhtiar memakai bahasa sebagai alat ekspresi dan realisasi manusia.
Doa-puisi hadir dalam kondisi manusia yang rindu dan menginginkan suatu pembahasaan dan komunikasi. Kata-kata ada dalam konstruksi yang ingin menampung dan memungkinkan makna sebagai nilai yang sakral dan estetis. Doa-puisi adalah realisasi yang ingin lepas dari kekangan (tirani) bahasa konvensional tanpa harus melakukan reduksi terhadap laku ajaran agama. Bahasa dalam penguasaan individual menjadi suatu ekspresi yang membuka kemungkinan-kemungkinan pesan dan makna. Doa-puisi kaum sufi menjadi warisan yang dilantunkan dan dipahami dalam konteks estetika religius. Kitab dan risalah yang mengekalkan ekspresi sufi menemukan pewaris yang menerima sebagai teks untuk mengungkapkan diri dalam interpretasi dan pemahaman yang beragam.
Doa-doa dalam kitab suci menjadi basis religius yang menemukan derivasi dan tafsiran-tafsiran berbeda oleh kaum sufi. Doa dalam bahasa menemukan ekspresi dalam kompetensi dan kesadaran estetika religius. Kehadiran doa puisi dari kaum puisi tidak menempati posisi yang menandingi doa-doa dalam kitab suci. Doa puisi itu adalah manifestasi yang ingin menembus kekakuan konvensi bahasa dan dogma.
Penjelasan dan tafsir keberadaan doa didedahkan oleh penyair-filosof Mohammad Iqbal. Doa menjadi prolog dalam puisi panjang Javid Nama. Iqbal mengisahkan manusia dalam pemahaman religius dan visi-visi yang imajinatif-puitis. Doa adalah pembebasan dan ikhtiar mencapai pengetahuan menuju Tuhan. Doa-puisi Mohammad Iqbal menjadi manifestasi yang memberi kesadaran religiusitas atas lakon manusia.
Iqbal menulis: “Dalam kepedihan kuarungi kehidupan. Kini aku berdoa agar terbebas dari kegamangan.” Doa adalah realisasi yang positif dan konstruktif untuk laku hidup manusia yang dihadapkan pada realitas-realitas dunia. Doa mengantarkan manusia untuk mengenali dan intim dengan Tuhan. Doa adalah ekspresi estetika religius untuk pencerahan. Begitu.

Dimuat di Pikiran Rakyat (1o Januari 2oo9)

Kamis, 08 Januari 2009

Jurus Menulis Esai

Bandung Mawardi

Tradisi menulis esai di Indonesia memiliki jejak panjang sejak tahun 1930-an. Majalah Pujangga Baru memiliki ruang besar untuk tradisi penulisan esai dengan pelbagai fokus: bahasa, sastra, seni, kebudayaan, pendidikan, sosial, dan filsafat. Esai pada saat itu adalah tulisan bebas dengan acuan pengamatan, pembacaan, penafsiran, penilaian sesuai pandangan pengarang yang cenderung subjektif.
Penulis-penulis esai di Indonesia memiliki karakter, keunikan, dan ciri pluralistik. Penulis-penulis esai mumpuni di Indonesia antara lain Sutan Takdir Alisjahbana, Iwan Simatupang, H.B. Jassin, Wiratmo Soekito, Goenawan Mohamad, Ariel Heryanto, Sapardi Djoko Damono, Abdul Hadi W.M., Arief Budiman, Ignas Kleden, Afrizal Malna, dan lain-lain. Esai-esai para penulis ini memiliki kekuatan dalam sisi-sisi tertentu untuk membuat pembaca merasa takjub, tersihir, tergoda, atau terlena.
Menulis esai adalah menulis dengan gairah dan pertaruhan ekspresi. Esai merupakan komposisi kata, ide, penalaran, asumsi, argumentasi, imajinasi, fakta, subjektivitas, objektivitas. Menulis esai membutuhkan kelihaian dalam mengungkapkan sesuatu dengan desain dan pembabakkan tertentu sesuai selera penulis. Esai mengandung tegangan antara tanda tanya dan tanda seru di awal dan akhir.
Esai itu fleksibel karena tidak memiliki konvensi-konvensi ketat. Menulis esai adalah menulis risiko dalam mempersoalkan sesuatu. Risiko paling kentara adalah penilaian atau pandangan dalam ambang batas objektivitas-subjektivitas dan fakta-fiksi. Esai memang tidak harus tunduk dengan struktur tulisan ilmiah seperti artikel atau makalah. Esai mengandung kemungkinan untuk kolaborasi atau kombinasi dalam mengoperasikan pelbagai struktur dan pola tulisan.
Esai tidak mutlak harus mengusung teori–teori secara baku atau formal. Teori dimungkinkan hadir dengan pengolahan dan penempatan sesuai dengan kebutuhan. Teori tidak harus memiliki peran pusat atau dominan. Teori mungkin sekadar jadi legitimasi atau pengungkapan dengan perspektif relasional. Ciri itu kentara dalam tradisi penulisan esai.
Esai mumpuni perlu memperhatikan jurus pengungkapan ide: konvergensi dan divergensi. Konvergensi adalah pemusatan ide dalam esai dengan penguatan argumentasi. Divergensi adalah sebaran ide dalam esai dengan pemunculan impresi-impresi sesuai kadar dan parameter tertentu. Jurus pengungkapan ide itu membutuhkan kekuatan penalaran untuk membangun komunikasi dan interaksi dengan pembaca dalam iklim keintiman dan ketegangan.
Menulis esai dengan tendensi intensitas pembacaan dan penilaian membutuhkan jurus “mekanisme berpikir referensial.” Jurus ini adalah operasionalisasi pengetahuan penulis sesuai dengan penguasaan terhadap pelbagai sumber referensi. Penguasaan itu digerakkan dengan hukum-hukum relasional dan konstruksi tulisan dalam batas esoteris dan eksoteris. Mekanisme berpikir referensial mengandung misteri atau implisitas dan transparasi atau eksplisitas. Begitu.

Dimuat di Suara Merdeka (3 Januari 2oo9)

Manunggaling Ilmu dan Laku

Bandung Mawardi

Seorang bocah pribumi telaten dan fasih membaca buku-buku tentang kesusastraan dan keagamaan dalam bahasa Jawa, Melayu, Belanda, Jerman, dan Latin. Bocah ini sanggup melafalkan dengan apik puisi-puisi Virgilius dalam bahasa Latin. Ketelatenan belajar mengantarkan bocah ini menjadi sosok fenomenal dalam tradisi intelektual di Indonesia dan Eropa. Bocah dari Jawa itu dikenal dengan nama Sosrokartono.
Harry A. Poeze (1986) mencatat bahwa Sosrokartono pada puncak intelektualitas di Eropa menguasai 9 bahasa Timur dan 17 bahasa Barat. Kompetensi intelektualitas itu dibarengi dengan publikasi tulisan dan pergaulan dengan tokoh-tokoh kunci dalam lingkaran intelektual di Belanda. Sosrokartono pun mendapati julukan “Pangeran Jawa” sebagai ungkapan untuk sosok intelektual-priyayi dari Hindia Belanda.
Biografi intelektual pribumi pada saat itu memang tak bebas dari bayang-bayang kolonial. Sosrokartono pun tumbuh dalam operasionalisasi kolonialisme dalam wajah ambigu pendidikan dan peradaban. Kehadiran institusi pendidikan Barat pada masa kolonial dengan kentara hendak mengantarkan orang pribumi untuk mencecap dan menerima dunia dalam konstruksi pemikiran Barat. Sosrokartono melakoni pola itu tapi sadar untuk melakukan proteksi dan distansi dalam identitas dan ikhtiar menjadi manusia.
* * *
Sosrokartono menemukan pengesahan intelektual pada tahun 1908 dengan penerimaan gelar Doctorandus in de Oostersche Talen dalam bidang bahasa dan sastra. Kebangkitan adalah ancaman untuk kolonialisme. Sosrokartono gagal secara akademik untuk mencapai gelar doktor oleh kebencian dan dendam dari juru bicara kolonialisme dan orientalisme Prof. Dr. Snouck Hurgronje. Sosrokartono mendapati tuduhan sebagai simbol kebangkitan-intelektual pribumi.
Sosrokartono terus menjadi nama, fenomena, dan problema di Eropa. Mohammad Hatta (1982) menjuluki Sosrokartono sebagai manusia jenial. Hatta mengisahkan tentang perjamuan makan kaum etis (Mr. Abendanon, Mr. van Deventer, Prof. Dr. Snouck Hurgronje, dan Prof. Hazeu). Sosrokartono hadir dalam perjamuan makan sebagai sosok intelektual mumpuni. Kaum etis itu ingin menanggung utang Sosrokartono dengan kompensasi Sosrokartono sanggup merampungkan disertasi. Sosrokartono menjawab dengan satire: “Maaf Tuan-tuan yang terhormat, utang itu adalah satu-satunya harta saya. Harta saya satu-satunya itu akan Tuan ambil juga dari saya?”
Satire itu merupakan hantaman keras untuk Politik Etis. Motif kolonial untuk mengembalikan utang materi dan utang budi tak mungkin kelar dengan edukasi, irigasi, dan migrasi. Operasionalisasi Politik Etis justru mengandung dilema untuk mengantarkan pada pintu emansipasi atau westernisasi melalui sihir pemikiran-intelektual.
Sosrokartono pada tahun 1925 pulang ke rumah (Indonesia) setelah lelah kelana di Eropa sebagai mahasiswa dan wartawan The New York Herald Tribun. Kegagalan untuk mencapai gelar doktor tidak mematikan spirit intelektual. Sosrokartono justru mendaki pada puncak sintesis intelektualitas-spititualitas Timur. Sosrokartono pun menabur sekian pemikiran dan pengaruh untuk memberi kontribusi pada Jawa dan Indonesia.
Sosrokartono pulang untuk mengabdi pada negeri dengan menjadi pemimpin Nationale Middlebare School di Bandung. Pemerintah kolonial curiga dengan ulah itu lalu membuat represi politik. Sosrokartono sadar dengan godaan politik tapi memilih menempuh jalan lain untuk mengabdi sebagai manusia bebas. Sosrokartono memutuskan untuk membuka praktik pengobatan dan menempuh laku spiritual. Pilihan aneh untuk intelektual mumpuni tapi mengesankan kearifan Timur.
Pilihan itu tak menutupi kontribusi Sosrokartono untuk konstruksi Indonesia. Solichin Salam (1987) mencatat bahwa sekian tokoh kunci dalam pergerakan politik dan kebudayaan memiliki interaksi dengan Sosrokartono. Soekarno dan Ki Hajar Dewantoro memberi penghormatan besar untuk pemikiran dan praksis Sosrokartono dalam lakon spiritualitas untuk menopang lakon politik. Wejangan-wejangan Sosrokartono pun menjadi bekal untuk menggerakan roda politik dan kebudayaan di Indonesia.
* * *
Wejangan penting dari Sosrokartono: Sugih tanpa banda, digdaya tanpa aji, nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake (Kaya tanpa harta, sakti tanpa azimat, menyerbu tanpa pasukan, menang tanpa merendahkan lawan). Filosofi ini merangkum lakon ekonomi, politik, sosial, dan etika. Filosofi ini relevan dengan fragmen-fragmen politik Indonesia tapi kerap terabaikan karena kerakusan, keangkuhan, dan kegenitan pemain-pemain politik untuk urusan kekuasaan dan harta.
Misteri besar dalam laku Sosrokartono adalah alif dalam pengobatan dan pengajaran hidup. Alif adalah huruf awal dalam sistem huruf hijaiyah (Arab). Alif itu simbol kunci dan menentukan. R. Mohamad Ali (1966) mengisahkan bahwa pemasangan alif pada suatu tempat pilihan Sosrokartono harus dilakukan dengan upacara khidmat. Alif mengandung pengertian sebagai pusat kekuatan Illahi. Alif adalah Sosrokartono dalam laku spiritual untuk menebar cinta kemanusiaan. Huruf alif merupakan simbol untuk laku mengurusi kondisi lahir-batin manusia.
Sosrokartono lebur dalam Islam dan spiritualitas Timur. Pilihan dan pemahaman alif memiliki acuan dalam doktrin Islam sebagai ekspresi lahir-batin. Huruf dalam Islam itu mengandung rahasia dan kesucian. Ja’far Ash-Shadiq (Schimmel, 1996: 230) mengungkapkan: “Tuhan membuat huruf sebagai induk segala benda; indeks dari segala sesuatu yang bisa dilihat; kriteria dari semua hal yang sulit. Segala sesuatu bisa diketahui melalui huruf.” Huruf-huruf hijaiyah diakui mengandung makna batiniah dari estetika sampai peramalan.
Ajaran terkenal Sosrokartono adalah ilmu kantong kosong, ilmu kantong bolong, dan ilmu sunyi. Mohamad Ali (1966) mengungkapkan bahwa ilmu kantong bolong ada dalam ungkapan etis-filosofis: Nulung pepadane, ora nganggo mikir wayah, waduk, kantong. Yen ana isi lumuntur marang sesami (Menolong sesama tanpa memerhatikan waktu, perut, kantong. Bila ada sesuatu itu untuk sesama manusia). Ungkapan itu ditulis Sosrokartono pada 12 November 1931. Apakah masih ada relevansi dengan fakta sosial dan kemanusiaan kita hari ini? Pelbagai tindakan manusia hari ini cenderung tak bisa bebas dari pamrih mulai dari uang sampai kekuasaan.
Ilmu kantong kosong merupakan laku cinta-kasih pada manusia dan Tuhan. Cinta-kasih sempurna adalah antusiasme dan empati untuk menolong sesama manusia dalam mengatasi derita, sakit, dan duka. Cinta-kasih ekspresi pengabdian pada Tuhan. Ilmu sunyi adalah puncak laku spiritual dengan mengosongkan diri-pribadi dari sifat pemujaan diri dengan mempertaruhkan diri secara lahir-batin untuk menolong sesama manusia. Sosrokartono dengan kalem mengungkapkan: “Saya adalah manusia. Oleh sebab itu sesuatu kemanusiaan tidak asing bagi saya.”
* * *
Sosrokartono (1877-1952) adalah sisi lain intelektual pribumi dalam bayang-bayang kolonial dan spirit nasionalisme-humanisme. Biografi Sosrokartono adalah bab penting dalam sejarah Indonesia modern. Sosrokartono merepresentasikan keganjilan dari jalan besar intelektual pribumi abad XX dengan sintesis laku intelektualitas-spiritualitas. Jalan ini memberi efek besar untuk pengabdian diri pada negeri dan kemanusiaan. Sosrokartono tak betah mengurusi politik karena kerap menemukan lakon-lakon kotor.
Kompetensi intelektualitas Sosrokartono ketika di Eropa membuat pelbagai kalangan kagum dan takjub. Pilihan untuk laku spiritual ketika pulang di Indonesia membuat publik terkejut dan takjub. Inikah fase puncak dari ilmu dan laku hidup: manunggaling intelektualitas-spiritualitas?

Dimuat di Kompas (3 Januari 2oo9)

Haji: Pengarang, Imajinasi, Fakta Sosial

Bandung Mawardi


Ibadah haji mengantarkan muslim membuka pintu seribu satu kisah sejak Nabi Adam sampai pandangan eskatologis. Haji memiliki konvensi sebagai ibadah manusia pada Tuhan. Haji kerap mengingatkan pada imajinasi-religiusitas. Ibadah haji membuka kesadaran muslim untuk ziarah imajinasi dengan melampaui batas ruang dan waktu.
Rentetan kisah kerap memberi pengalaman unik dan otentik tentang religuisitas sampai perilaku sosia-ekonomi-politik. Imajinasi menjadi kunci penting untuk masuk dalam kisah dan memungut hikmah melalui interpretasi. Haji identik dengan kisah Nabi Adam, Nabi Ibrahim, Nabi Ismail, Nabi Muhammad, atau kisah-kisah biografis lain. Imajinasi menemukan momentum pencerahan untuk menjadi tanda seru pada iman dan praksis hidup.
* * *
Pengalaman haji dituliskan Ajip Rosidi dalam seri puisi religius. Menuliskan haji memang memiliki dalil reflektif dan nostalgia atas biografi diri. Ajip Rosidi dengan liris menulis fragmen-fragmen mengesankan selama menunaikan ibadah haji. Puisi “Aku Datang, Ya Tuhanku, Aku Datang” merupakan tanda iman Ajip Rosidi untuk sadar atas panggilan Tuhan. Ajip dengan kalem mengungkapkan: Aku datang sekarang / bersimpuh di hadiratMu / menjerit menembus langit / menyelam dalam diri / yang berendam dalam kasihMu / bersarang dalam rahmatMu / yang sia-sia kuhitung / sia-sia kubagi. Kesadaran religius Ajip Rosidi masuk dalam rindu memuncak dan melahirkan imajinasi-imajinasi menggetarkan.
Ibadah haji memang kerap memberi imajinasi dan kisah menakjubkan. Kausalitas peristiwa dan pengalaman cenderung implisit. Tanda-tanda Tuhan selalu mengingatkan manusia untuk sadar atas berkah dan balasan sekian perbuatan selama hidup di dunia. Manusia pun dengan tunduk datang menghadap Tuhan dengan doa-doa dan laku-laku ibadah.
Laku representatif dari lakon manusia menghadapi godaan setan dan fitrah untuk mengimani Tuhan tampak dalam peristiwa melempar jumrah di Mina. Ajip Rosidi mencatatkan itu dalam puisi “Mina”: Tiga buah lubang / jadi sasaran lontaran / Berjuta orang mengepungnya / tapi setan lepas juga / masuk dalam diri lelaki / yang memaki-maki terinjak kaki // Tiga buah lubang / tak habis-habisnya diserbu / Tapi orang-orang yang penuh nafsu / setan pun bersembunyi di situ / Tak mungkin ia dilontar / Tak mungkin ia dilempar.
Danarto mengisahkan ibadah haji dalam catatan harian memukau dan menggelikan. Pengarang cerpen-cerpen sufistik ini dengan lincah dan lihai menuliskan seribu satu kisah dalam haji. Buku Orang Jawa Naik Haji (1984) menjadi dokumen penting dari seorang pengarang dalam kesibukan imajinasi-religius.
Haji seorang pengarang memang menjadi ibadah tak biasa karena pelbagai ulah dan imajinasi. Inilah pengalaman Haji Danarto: “Ibadah haji sesungguhnya saat manusia bergabung kembali dengan esensinya. Apakah hamba telah jadi idiot dengan pura-pura tidak tahu ketika engkau menempa cincin pertalian Kita: Allah, Allah, Allah, Maha Suci Engkau, ya Allah. Yang telah mencipatkan haji. Ada bumbu pasir, gunung batu, tanaman kering, dan udara panas yang berseru: di sini sudah dibangun tempat menyatu.”
Ajip Rosidi dan Danarto memiliki cara dan bentuk berbeda untuk mengisahkan haji dengan dalil pengalaman dan imajinasi. Ibadah haji kentara dengan pintu-pintu imajinasi untuk mengantarkan manusia pada masa lalu dan masa depan (eskatologis). Imajinasi atas dunia menemukan titik sambungan untuk imajinasi langit dan akherat.
* * *
Kesusastraan Indonesia modern tidak memiliki data melimpah mengenai sastra mazhab haji. Pengarang-pengarang mungkin kurang memiliki ketertarikan untuk mengisahkan haji dengan alasan entah apa. Hamka menunjukkan diri sebagai pengarang dengan sensibiltas religius. Sekian teks Hamka menunjukkan ada ikhtiar mengisahkan haji meski dalam kadar kecil. Haji sekadar menjadi perisitiwa instrumental untuk menguatkan cerita dan karakter tokoh.
Haji itu imajinatif. Pengertian ini mungkin jarang terpahami oleh pengarang. Laku-laku ibadah selama haji tak luput dari olah imajinasi. Pelbagai peristiwa dan doa merepresentasikan pintu-pintu masuk dalam imajinasi religius. Masjid, bukit, padang pasir, Kabah, atau sumur Zamzam adalah tanda-tanda dari perjalanan historis-eskatologis secara imajinatif dan empiris.
Haji sebagai tema besar hadir dalam novel Ular Keempat (2005) karangan Gus TF Sakai. Novel ini mengacu pada kisah haji Indonesia pada tahun 1970-an. Pengarang merekonstruksi kisah perjalanan kelompok haji ilegal, kisah-kisah religius selama haji, kisah kultural-politik di Indonesia. Novel ini menjadi juru bicara penting untuk kehadiran sastra mazhab haji karena pengarang memberi kadar besar megisahkan haji dalam proses awal sampai implikasi ibadah haji. Novel ini bukan uraian teknis atau deskriptif mengenai ibadah haji tapi refleksi imajinatif atas ibadah haji dalam relasi agama, ekonomi, politik, dan kultural.
Laku haji dalam manifestasi imajinasi Gus TF Sakai: “Dan kini, pagi ini, kami kembali mengulangi laku Ibrahim: melempari Jumratul Aqabah, dengan batu-batu kecil yang kami pungut tadi malam. Lihatlah manusia ini, jemaah ini, mereka merengsek ke Jumratul Aqabah seperti pemandangan kemarin, seperti semut-semut putih yang merayap naik ke Jabal Rahmah. Ribuan.”
Peristiwa-peristiwa indah dan menakjubkan terjadi ketika berada di Mekah dan Madinah. Pengalaman religius itu mesti dilakoni dengan sekian perkara dengan taruhan politik-diplomatik ketika rombongan haji mulai berangkat dari Indonesia. Rombongan haji pada tahun 1970-an tanpa dokumen resmi pemerintah nekat menempuh perjalanan dengan niat ingin bisa menunaikan ibadah haji. Pemerintah Indonesia kelimpungan mengurusi rombongan itu ketika transit di Singapura dan Malaysia sampai ke Arab Saudi. Pemerintah ingin tegas menerapkan peraturan tapi tak sanggup memberi perlakuan secara akomodatif.
Novel Ular Keempat memang menunjukkan intensitas pengarang untuk mengisahkan haji dari perkara religius, birokrasi, dan peristiwa-peristiwa surealis. Pengarang dengan sadar mengajukan pertanyaan sebagai pijakan penulisan novel: “Betulkah orang-orang di kampungku beribadah bukan karena Allah, melainkan ibadah itu telah diwariskan turun-temurun? Dan betul pulakah apa yang dikatakannya bahwa aku pergi haji ke Mekah tak lebih hanya karena kebanggaan?”
* * *
Haji itu perkara sosial? Pertanyaan kerap muncul dengan acuan kondisi ekonomi dan sosial di Indonesia. Ibadah haji dengan dana besar kerap menimbulkan polemik mengenai implikasi kemaslahatan. Ibadah haji lebih dari sekali cenderung menjadi sasaran kritik ketika tak menyadari bahwa realitas sosial-ekonomi di sekitar berada dalam kemiskinan. Prioritas untuk haji dan sedekah-infak sosial kerap menjadi polemik dengan argumentasi pamrih individu dan toleransi sosial. Begitu.

Dimuat di Republika (14 Desember 2oo8)

Cerita Rakyat Tanpa Rakyat?

Bandung Mawardi

Jawa kerap diungkapkan para ahli sejarah dan ilmu-ilmu sosial dengan perspektif-perspektif ilmiah. Perspektif itu mengacu pada fakta dan penafsiran sesuai dengan prosedur berpikir ilmiah. Pengungkapan sejarah Jawa yang didominasi dengan pendekatan ilmiah yang memperhitungankan validitas sering meminggirkan sumber lain yakni cerita rakyat. Dominasi pemikiran ilmiah membuat cerita rakyat menjadi anak tiri untuk membaca sejarah?
Kuntowijoyo (2003) mengungkapkan bahwa peranan tradisi lisan dalam ilmu sejarah dan antropologi adalah sebagai sumber sejarah yang merekam masa lalu. Kesejarahan tradisi lisan merupakan sebagian dari isi tradisi lisan. Tradisi lisan itu mengungkapkan kejadian atau peristiwa yang mengandung nilai-nilai moral, keagamaan, adat-istiadat, fantasi, peribahasa, nyanyian, dan mantra. Penjelasan dari Kuntowijoyo itu mengisyaratkan bahwa sumber dari folklor itu tak mungkin diabaikan atau ditinggalkan dalam mengungkap sejarah.
Tradisi lisan memiliki kemungkinan menjadi rujukan penting untuk mengetahui dan mendeskripsikan sejarah. Jawa memiliki riwayat panjang yang belum bisa diungkapkan dengan utuh dan komprehensif oleh ahli sejarah dan ilmu sosial. Keberadaan cerita rakyat tentu bisa dinilai dengan kepentingan-kepentingan untuk rekonstruksi sejarah. Cerita-cerita rakyat itu mungkin cenderung dianggap sebagai sumber semi-ilmiah yang belum tergarap dengan analitis dan kritis dalam tradisi studi ilmiah.
Cerita rakyat atau dalam pengertian besar folklor dijelaskan William R. Bascom (Danandjaja, 1984) dalam tiga golongan besar: mite, legenda, dan dongeng. Mite adalah cerita prosa rakyat yang dianggap benar-benar terjadi dan dianggap suci oleh empu ceritanya. Legenda alam gaib adalah kisah yang bersifat kolektif dan dianggap benar-benar terjadi dan pernah dialami seseorang. Dongeng adalah cerita prosa rakyat yang tidak dianggap benar-benar terjadi yang melukiskan kebenaran, pelajaran moral, atau sindiran.
Posisi cerita rakyat untuk acuan merekonstruksi sejarah jarang dijadikan sebagai sumber primer dengan alasan-alasan rasionalitas sejarah. Cerita rakyat pada dasarnya memiliki suatu kekuatan yang membuat publik pemilik cerita rakyat berada dalam konstruksi dunia dan kehidupan yang unik dan otentik dalam latar sosial-kultural setempat. Tradisi lisan pada saat ini menghadapi tantangan dalam budaya teks dan budaya audio visual yang modern dan canggih. Tantangan itu menjadi peringatan untuk melakukan inovasi dan kreasi terhadap cerita rakyat.
Cerita rakyat yang lahir dan tumbuh di Jawa pada saat ini mungkin belum bernasib baik dengan pelbagai alasan dan kondisi. Cerita-cerita rakyat sekadar eksis dalam kelompok-kelompok kecil yang masih sanggup untuk menuturkan atau mengisahkan dalam bentuk lisan. Eksistensi cerita rakyat pun mulai menemukan peralihan bentuk dalam tulisan (buku) dengan pemakluman ada resepsi dan apresiasi berbeda ketimbang ketika dilisankan. Argumentasi dari perlaihan bentuk itu adalah buku bisa menjadi alat dokumentasi sebelum cerita rakyat kehilangan rakyat penutur-pendengar. Kehadiran buku-buku cerita rakyat mungkin jadi alternatif untuk transformasi pengetahuan historis dan sosial-kultural dalam masyarakat.
Cerita rakyat yang semula tumbuh dalam tradisi lisan memiliki ruang dan kepemilikan kolektif. Perubahan zaman menyebabkan kepemilikan kolektif semakin berkurang dan mengecil karena ekspansi cerita-cerita modern. Anak-anak dalam tataran masyarakat modern justru menunjukkan ketertarikan kuat dan cenderung akrab dengan cerita-cerita modern dalam bentuk komik atau film. Cerita rakyat yang dulu lahir dan tumbuh dalam masyarakat sendiri perlahan hilang atau dilupakan karena tak ada pola pewarisan yang efektif dan kreatif.
Pola kreatif yang terasa kurang adalah perhatian dari orang tua untuk mendongeng atau bercerita pada anak. Kelemahan untuk apresiasi cerita rakyat juga muncul di institusi pendidikan yang memainkan fungsi strategis dalam transformasi ilmu dan pengetahuan. Siswa di sekolah atau mahasiswa kurang apresiatif terhadap cerita rakyat karena pelbagai alasan dan faktor. Perhatian terhadap cerita rakyat seakan jadi urusan untuk peneliti, dosen, sastrawan, seniman, dan budayawan dengan misi penyelamatkan secara dokumentatif.
Masyarakat Jawa yang tidak tahu atau lupa atas cerita rakyatnya sendiri tentu menjadi fenomena yang memprihatinkan. Tragedi kultural itu tidak bisa dipisahkan dari arus modernitas dan kecenderungan kosmopolitanisme. Masyarakat berhak memiliki pelbagai kiblat dan orientasi kultural melalui cerita rakyat. Menikmati pola hidup kosmopolitan atau menjalankan nilai-nilai kemodernan adalah bentuk pilihan-pilihan yang cenderung dipercayai banyak orang. Cerita rakyat barangkali sekadar dianggap sebagai mitos lama, khayalan klise, fantasi, atau dongeng yang ketinggalan zaman.
Keberadaan cerita rakyat adalah bukti dinamisasi peradaban manusia dalam rekonstruksi masa lalu dan pembayangan masa depan. Apresiasi terhadap cerita rakyat menjadi bekal untuk transformasi sosial-kultural yang berasal dari sisi internal masyarakat. Cerita rakyat pun berhak mengalami transformasi bentuk dan tafsiran nilai sesuai dengan perubahan zaman dan kebutuhan masyarakat. Begitu.

Dimuat di Solopos (11 Desember 2oo8)

Rindu Sriwedari yang Dulu

Heri Priyatmoko

“Terang bulan memancarkan sinar cuaca menambah keindahan Solo di waktu malam. Hawa sejuk segar karena angin sepoi. Bulan makin naik, seluruh kota makin ramai. Si kaya dan si miskin semua menikmati. Sriwedari kelihatan penuh sesak. Penonton-penonton bioskop pertunjukkan (wayang wong) pertama tidak lekas-lekas pulang, tetapi memenuhi taman hiburan itu. Berkeliaran kesana-kemari, ke tepi kolam, ke samping gedung wayang wong, ke rumah makan Pak Amat atau nongkrong di tempat sate, gule, soto Madura”. Itulah kalimat yang sedang disimak oleh juragan batik Siswanto dalam Roman “Solo Di Waktu Malam”, karangan Kamadjaja (1950).
Siswanto asyik membaca novel sejarah itu di kursi goyangnya, dibantu dengan kacamata. Ketajaman matanya menurun lantaran umur Siswanto seabad lebih. Ia beruntung sempat menangi keindahan Taman Sriwedari atau yang lebih sohor disebut Kebon Rojo, kala itu. Sriwedari diciptakan untuk kepentingan bersama, tempat bertemu, berinteraksi dan silahturahmi antarwarga. Di sana, dihidangkan aneka hiburan. Ada kebun binatang, perpustakaan, segaran, tempat olahraga, dan dilengkap warung makan serta event melem selikuran.
Di pintu tampak Mukinah, istri Siswanto, kecapekan pulang dari Pasar Klewer. Walau bukan keturunan mbok mase Laweyan, Mukinah pinter mengelola uang hasil jualan batik.
“Kok kamu kelihatan lesu begitu, opo mau ora payon...?” sapa Siswanto mesra.
“Laris, Pakne. Banyak pembeli dari luar kota yang memborong dagangan kita. Saya capek melayani, habisnya Surti dan Narni ijin tidak masuk,” jawab Mukinah sembari merebahkan tubuhnya di amben jati, samping kursi goyang.
“Kalau capek, nanti malam kita refresing ke Sriwedari sambil menikmati acara Koes Plus-an,” Yatmo, anak semata wayang mereka yang lagi makani ikan di aquarium, coba menawari.
“Wegah, le. Mending Ibu pakai untuk istirahat di rumah. Sriwedari sudah tidak seperti dulu, kehilangan identitas sosiokulturalnya,” jawab ibunya.
Memang setelah dibangunnya Pujasari, restauran Boga, THR, gedung bioskop, dan gedung Graha Wisata Niaga, maka ruang berekspresi rakyat semakin mengecil. Kini, polemik soal kepemilikan tanah Taman Sriwedari menambah susutnya pamor ruang publik yang berada di tengah Kota Bengawan tersebut. Kebon Rojo sekarang bukan Kebon Rojo era 1950-an, yang sesuai konsep taman indah persembahan Sumantri ketika ngenger kepada raja Harjuna Sasrabahu.
Siswanto turut gregetan mengikuti berita ontran-ontran Sriwedari melalui koran langganannya: Suara Merdeka. Siswanto berkomentar, ”dalam fakta sejarah, seperti yang disebutkan dalam Buku Babad Sala, bahwa Paku Buwana X adalah orang yang membangun Kebon Rojo untuk kawulanya. Jadi, apa masuk akal jika Sinuwun mengeluarkan duit ribuan gulden untuk membangun taman yang bukan di atas tanahnya sendiri”.
Manakala keluarga KRMH Wirjodiningrat menyodorkan surat kepemilikan tanah, secara bukti Pemkot memang terpojok. Tetapi bila ditengok fakta sosialnya, sudah jelas bahwa selama ini identitas Kebon Rojo telah melekat di hati rakyat. Keterlibatan warga dengan sendirinya telah membuat eksistensi Kebon Rojo tiada lagi menjadi milik perseorangan.
”Saya sangat mendukung kelompok Somasi yang beberapa waktu lalu menyampaikan penolakan rencana kompromi Pemkot dengan ahli waris, dan mendesak Pak Jokowi tidak melakukannya,” kata Siswanto mantap.
”Iya, Pak. Daripada dimiliki perseorangan, lebih baik kuasai negara. Biar tidak dienjah-enjah dengan pendirian bangunan komersil baru lagi, dan masyarakat bisa ikut mengontrol pembangunan dalam kompleks Sriwedari,” Yatmo menambahi.
”Saya rindu dengan Sriwedari tempo doeloe. Yang elok sebagai ruang rekreasi dan bagus untuk tempat mencari inspirasi para seniman,” kenang Mukinah seraya memejamkan mata.

Dimuat Suara Merdeka 03-01-09