Rabu, 23 April 2008

DKS yang Berjalan dan Bekerja


Oleh: Bandung Mawardi

Dewan Kesenian Surakarta (DKS) resmi dikukuhkan kepengurusannya oleh Walikota Jokowi pada 16 April 2008 (malam) di Loji Gandrung. Pengukuhan itu sebagai tanda bahwa Dewan Kesenian Surakarta mulai berjalan dan bekerja terhitung sejak sekarang sampai tahun 2012. Pelbagai pekerjaan mesti dilakukan DKS untuk menunjukkan diri sebagai lembaga yang representatif dalam memikirkan dan mengurusi kesenian di Surakarta.

Bagaimana DKS berusaha untuk berterima oleh kalangan pemerintah kota, seniman, dan masyarakat? Bagaimana DKS menjawab curiga, sangsi, atau pesimisme atas peran yang harus dimainkan? DKS itu untuk siapa?

Hubungan koordinatif atau instruktif

Murtijono dengan terbuka dan berani membuat suatu komitmen bahwa DKS tidak akan menjadi lembaga yang sekadar ada atau ada tapi mandul. Murtijono dalam pidato resmi sebagai ketua DKS memberi pernyataan-pernyataan yang penting sebagai sebagai rambu-rambu untuk DKS, pemerintah kota, dan seniman. Murtijono mengatakan bahwa peran DKS adalah sebagai “pembantu” pemerintahan kota dalam urusan kesenian. Pernyataan itu hendak menegaskan hubungan koordinatif antara pemerintah kota dengan DKS.

Keberadaan DKS memang rawan dengan godaan untuk menjadi lembaga yang membantu pemerintahan kota bukan dalam hubungan koordinatif tapi instruktif. Hubungan koordinatif itu bisa dibuktikan jika DKS memainkan peran sebagai lembaga yang memberikan masukan aspirasi, usulan, atau kritik mengenai kesenian pada pemerintahan kota untuk mengambil kebijakan dalam kesenian. DKS harus sanggup menghindari diri dari pelimpahan kerja atau proyek yang menyebabkan DKS bekerja dalam pengertian instruktif.

Pemahaman atas peran DKS memang kerap menimbulkan kerancuan dari pemerintah kota, seniman, atau masyarakat. DKS yang memiliki legitimasi dan representatif mesti bisa memberi jawaban untuk kerancuan itu dengan melakukan hubungan koordinatif dengan pemerintah kota.

Peran DKS

Pekerjaan DKS memang berat untuk bisa menjadi lembaga yang akomodatif dan representatif terhadap pelbagai kepentingan dari pemerintah kota, seniman, dan masyarakat. Murtijono secara terbuka mengatakan bahwa DKS ingin menjadi lembaga yang populis bukan elitis. Pernyataan itu memang menunjukkan komitmen besar sekaligus hendak menunjukkan bahwa hal itu susah direalisaiskan tapi harus dilakukan.

DKS sebagai lembaga representatif tentu harus menyadari bahwa dalam mengakomodasi aspirasi dan kepentingan seniman membutuhkan kriteria dan kompensasi. Kriteria itu adalah persoalan mengenai keluhan atau tuntutan seniman untuk dimunculkan atau dipublikasikan dalam kepentingan eksistensi dan pengembangan. Penentuan kriteria itu ada dengan alasan untuk pilihan-pilihan yang berterima, demokratis, dan representatif. Kompensasi adalah persoalan mengenai pembuktian proses dan kerja kreatif seniman untuk sesuatu yang konstruktif dan produktif.

Pengakomodasian aspirasi dan tuntutan seniman merupakan persoalan pelik yang harus bisa dibuktikan DKS. Persoalan yang kerap muncul adalah mungkinkah DKS bisa berimbang dalam memikirkan dan mengurusi seni tradisi dan modern. Persoalan pelik yang lain adalah perhatian DKS nanti akan diberikan untuk seni rupa, tari, musik, teater, wayang, sastra, kethoprak, atau bentuk seni-seni yang lain. Silakan menunggu pembuktian dari DKS.

Pernyataan Murtijono yang menarik adalah penegasan bahwa DKS tidak ingin menjadi lembaga yang memainkan peran sebagai tukang proyek. Pernyataan itu hendak meyakinkan pada pemerintah kota dan seniman bahwa hubungan antara DKS dan pemerintah kota adalah hubungan koordintaif. Pemerintah tidak berhak mengeluarkan instruksi pada DKS untuk menjalankan suatu acara, program, atau proyek kesenian. Para seniman juga tidak berhak menuntut pada DKS untuk diberikan acara, program, dan proyek kesenian yang mungkin dipahami sebagai hak seniman atas DKS.

DKS untuk siapa

Pertanyaan besar yang selama ini kerap dilontarkan adalah keberadaan DKS itu untuk siapa. Lembaga kesenian dalam sejarah Orde Baru telah memberikan pemahaman politis bahwa keberadaan lembaga kesenian itu untuk kepentingan penguasa. Pengalaman itu harus lekas dirubah dengan suatu orientasi bahwa DKS ada untuk pelbagai pihak dan bukan sekadar untuk pemerintah kot.a.

Persoalan yang mesti dijawab dengan baik oleh DKS adalah keberadaan DKS itu dari dan untuk siapa. Keberadaan DKS sekarang memang diprakarsai oleh para seniman dan mendapatkan respon positif dari walikota. DKS sebagai lembaga kesenian tentu ada dari keinginan, kegelisahan, dan tuntutan para seniman yang ingin melibatkan diri dengan dinamisasi kota.

DKS itu untuk siapa? Pertanyaan ini bisa menjadi suatu rambu-rambu untuk DKS agar tidak terjebak dalam godaan atau kesalahan. Jawaban atas pertanyaan itu diharapkan bukan sekadar retorika tapi pembuktian yang berterima. Begitu.

Dimuat di Joglosemar, Jumat, 18 April 2008

Membaca dan Menulis Kartini


Oleh: Bandung Mawardi

Kartini lahir pada 21 April 1879 dan meninggal pada 17 September 1904. Kartini lahir dan tumbuh sebagai sosok yang mengalami pergulatan intens dengan tradisi Jawa, emansipasi, keluarga, iman, nasionalisme, humanisme, dan pendidikan. Kartini hadir sebagai sosok yang penting dan menentukan dalam sejarah Indonesia.

Kartini tumbuh dengan hasrat besar untuk menjadi manusia yang sadar atas perubahan zaman. Kartini ada dalam zaman peralihan yang mengandung benih-benih modernitas di Indonesia akhir abad XIX. Kartini memutuskan untuk belajar mengenai apa pun dan sadar bahwa ada kondisi-kondisi yang tidak memungkinkan untuk memenuhi obsesi atas hasrat pengetahuan dan perubahan. Kartini lahir dan hidup dengan tradisi dan sistem yang menempatkan perempuan dalam kedudukan rendah. Kartini menjadi manusia yang mesti menerima dan menjalani tragedi ketika zaman itu masih sedikit orang sadar dan mau memikirkan nasib negeri jajahan, emansipasi perempuan, pendidikan, nasionalisme, pluralisme, dan humanisme.


Kartini adalah inspirasi perubahan, pembebasan, dan pencerahan dalam babak awal pergerakan politik dan intelektual modern di Indonesia awal abad XX. Noto Soeroto dalam pidato di Indische Vereeniging (1908) menulis tentang Kartini sebagai anutan untuk kesadaran memikirkan bangsa dan keberanian menentukan diri dalam perubahan zaman. Kartini adalah sosok inspiratif yang memberi pengaruh besar dalam konstruksi menjadi Indonesia.

* * *
Penghormatan atas Kartini dilakukan dalam pelbagai bentuk: pendirian lembaga pendidikan, pemberian gelar pahlawan, sosialisasi lagu “Ibu Kita Kartini”, penerbitan buku surat-surat Kartini, penerbitan buku biografi Kartini, peringatan rutin “Hari Kartini”, pendirian museum, dan lain-lain.

Buku adalah bentuk pendokumentasian yang representatif untuk menghormati Kartini yang pada masa itu memenuhi hasrat pengetahuan dengan membaca buku, diskusi, dan korespondensi. Penerbitan buku-buku yang memuat surat atau mengenai biografi dan pemikiran Kartini terhitung lumayan banyak dalam edisi bahasa Indonesia.

Buku mengenai surat-surat Kartini antara lain: Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran (terjemahan Empat Saudara, 1922), Habis Gelap Terbitlah Terang (terjemahan Armijn Pane, 1938), Surat-surat Kartini: Renungan tentang dan untuk Bangsanya (terjemahan Sulastin Sutrisno, 1979), Kartini: Surat-surat kepada Ny. R.M. Abendanon-Mandri dan Suaminya (terjemahan Sulastin Sutrisno, 1989).

Buku-buku mengenai biografi Kartini antara lain: Kartini (Hurustiati Subandrio, 1950), Panggil Aku Kartini Saja (Pramoedya Ananta Toer, 1962), Raden Adjeng Kartini: Pendekar Wanita Indonesia (A. Soeroto, 1974), R.A. Kartini: Riwayat Hidup dan Perjuangannya (Sutrisno Kutojo, 1976), Kartini: Sebuah Biografi (Sitisoemandari Soeroto, 1979), R.A. Kartini Seratus Tahun (1879-1979) (Solichin Salam, 1979), R.A. Kartini (Tashadi, 1982), Kartini dalam Sejarah Nasional Indonesia (Solichin Salam, 1982), Rintihan Kartini (Idjah Chodidjah, 1984), Kartini: Pribadi Mandiri (Haryati Soebadio dan Saparinah Sadli, 1990), Tragedi Kartini (Suryanto Sastroatmodjo, 2005). Buku yang merupakan kajian mendalam mengenai pemikiran Kartini adalah Tuhan dan Agama dalam Pergulatan Batin Kartini (1993) diterbitkan dari disertasi Th. Sumartana.

* * *

Kartini terus dikenang, diperingati, dibayangkan, dibicarakan, dibaca, dan ditulis. Kartini adalah sosok manusia dengan pelbagai tragedi dan obsesi. Kartini mewariskan sekian pemikiran dan laku hidup untuk orang-orang yang ingin memberi penghormatan dan menemukan inspirasi untuk kehidupan zaman sekarang.


Goenawan Mohamad dalam “Catatan Pinggir” (12 Desember 1987) menulis tentang Kartini: “Saya membayangkan dia sebagai seorang yang dengan gementar di tepi saat untuk terkeping-keping…. Ia seorang yang cita-citanya luas terbentang tapi tubuhnya bagaikan disandera. Ia seorang yang tahu indahnya cakrawala Barat tapi seorang gadis pribumi yang selalu peka akan cemooh orang Belanda kepada ke-‘Barat’-annya.” Begitu.


Dimuat di Suara Merdeka, Minggu, 20 April 2008

REVITALISASI RUANG KESENIAN DI SOLO

OLEH: YUNANTO SUTYASTOMO
Kalau melihat perkembangan kesenian di Kota Solo saat ini, maka sungguh mengembirakan. Dari sisi kuantitas kegiatan kesenian dapat dikatakan sangat banyak. Festival seni ataupun pementasan dan disikusi tentang seni berlangsung terus menerus. Tetapi dari sisi ruang atau tempat untuk berkesenian sangatlah minim. Di Kota Solo selama ini hanya Taman Budaya Jawa Tengah dan ISI yang sering dijadikan tempat untuk berkegiatan seni. Taman Budaya Jawa Tengah boleh dibilang paling sering menjadi langganan berkegiatan baik Teater Arena, Galeri Seni Rupa maupun Wisma Seni. Segala fasilitas yang disediakan maupun subsidi kegiatan memungkinkan orang berkesenian. Di samping Taman Budaya Jawa Tengah, ISI menempati urutan berikutnya yang paling sering dipakai.untuk pementasan tari atau teater. Tetapi ISI bahkan boleh dibilang jarang sekali memfasilitasi kegiatan Kesastraan. Entah karena di ISI tidak ada jurusan sastra atau keengganan para pegiat sastra sendiri menggunakan fasilitas di ISI. Seharusnya sebagai perguruan tinggi yang bergerak dalam bidang kesenian, pihak ISI memiliki niatan untuk menawarkan kegiatan berbagai kesenian disana. Dari dua tempat tadi, ada banyak tempat yang seharusnya bisa dipakai untuk berkesenian. Ruang-ruang berkesenian yang terbatas di wilayah Taman Budaya Jawa Tengah dan ISI menjadikan kesenian terpusat. Kalau melihat wilayah kota Surakarta yang mempunyai banyak ruang public, maka bisa dikatakan tidak ada pembagian ruang berkesenian. Seperti UNS yang memiliki banyak gedung maupun fasilitas berkesenian lainnya maka pihak UNS bisa membantu perkembangan seni di kota Surakarta . Di UNS kita ketahui ada teater terbuka disamping Fakultas Pertanian yang selama ini tidak dikelola dengan baik. Bahkan tidak pernah dipakai sama sekali. Kesulitan yang mendasar di UNS adalah persoalan birokrasi dan mentalitas para pengelolanya. Hambatan-hambatan yang sifatnya formalitas menjadikan UNS jarang dilirik untuk berkesenian. Selain UNS, ruang-ruang public lain yang bisa dipakai adalah Sriwedari. Kalau selama ini kita hanya mengetahui bahwa di Sriwedari hanya ada wayang orang dan orkes dangdut.

Ada paradoks disini, wayang orang hanya dilihat oleh sedikit orang, sementara dangdut ditonton khalayak banyak. Wayang orang dipentaskan dengan alasan sebagai warisan nenek moyang sementara dangdut dipentaskan dengan alasan sponsor atau komersial semata. Sriwedari jarang sekali dipakai untuk pementasan teater atau tari serta musik. Padahal di Sriwedari selain tempat pementasan wayang orang juga ada pendopo yang bisa untuk diskusi berbagai persoalan. Melihat letak Sriwedari sebenarnya memiliki keunggulan yaitu berada di tengah kota . Kalau pihak pengelola memilki sikap bijak dalam mengelola Sriwedari sebenarnya dapat memberikan ruang bagi kesenian – kesenian lain. Selama ini kalau malam hari di Sriwedari yang ada ada hanya kesunyian semenatara fasilitas andalan yang ada seperti permainan anak-anak menjadi semakin sepi kalah dengan permainan anak-anak di supermarket. Dengan adanya kesenian dapat merevitalisasi Sriwedari sebagai ruang public. Perlunya penyelamatan ruang-ruang seni, selain berkurangnya ruang public untuk berkesenian juga sebagai bagian penyelamatan bangunan-bangunan bersejarah di kota Solo. Kesenian di zaman modern hanyalah sebatas pelepasan dari rasa penat ketika seharian bekerja sementara ruang-ruang seni tadi selain memiliki fungsi sebagai ruang public juga sebagai tempat bagi masyarakat kota untuk mengingat perjalanan kesejarahan kota juga belajar memahami kesenian-kesenian yang hadir di kotanya(mereka)

Yang sangat disayangkan selama ini adalah hambatan untuk revitalisasi ruang-ruang seni terletak pada pemerintah kota . Kita bisa ambil contoh Taman Tirtonadi yang kemudian pada awal 1980-an diubah fungsinya menjadi terminal bus. Dan ternyata beberapa tahun belakangan terminal bus tersebut tidak mampu lagi menampung bus-bus antar kota . Dari sini terlihat jelas bahwa pemerintah kota tidak memikirkan jangka panjang dan perkiraan daya tahan bangunan untuk masa depan. Pemerintah kota hanya memikirkan keuntungan semata dari APBD. Tidak adanya perhatian pemerintah kota terhadap tata ruang kesenian juga terlihat bahwa beberapa tahun terakhir tidak ada rencana tentang pembangunan gedung-gedung kesenian. Bahkan banyak gedung-gedung yang tidak terawat seperti tertulis diatas. Pemerintah kota sebenarnya bisa meniru Ali Sadikin sewaktu menjadi Gubernur DKI Jakarta (1966-1977) dengan merencanakan tata ruang yang bagus untuk kota . Ali Sadikin bahkan membangun TIM (Taman Ismail Marzuki) dan mendirikan LPKJ (sekarang IKJ). Alasan bahwa pemerintah tidak punya biaya sebenarnya bisa disiasati dengan berbagai hal. Salah satunya adalah dengan mengajak pihak swasta, ini dilakukan dengan persyaratan antara lain swasta tidak menjadikan sisi komesial sebagai tujuan utama. Di Jakarta, Gedung Arsip Nasional adalah salah satu contohnya, pihak swasta menjadikan Gedung Arsip Nasional beserta isinya lebih terawat dan sekarang menjadi salah satu bangunan kuno yang paling terpelihara. Revitalisasi juga bisa dengan mengajukan dana perbaikan kepada lembaga-lembaga internasional, seperti UNESCO. Selama ini UNESCO telah mendanai perbaikan bangunan-bangunan yang ada di Indonesia , seperti Candi Borobudur, Pemandian Taman Sari di Yogyakarta baru-baru ini. Ada satu cara lain yang sangat memungkinkan, yaitu dibentuknya suatu lembaga independen yang bertugas mencari dana dan memperbaiki gedung-gedung kesenian. Lembaga ini dibentuk dengan dukungan penuh dari pemerintah dan pihak legislatif lokal. Lembaga ini terdiri pakar kesenian, praktisi kesenian dan pihak pemerintah. Untuk kota Solo, hal ini dapat melibatkan pihak Taman Budaya Jawa Tengah (TBS), lalu Solo Heritage Society, praktisi dari ISI dan UNS serta para seniman yang tentu saja sebagai pelaku utama kesenian. Ini adalah cara yang paling memungkinkan saat ini. Pemerintah kota harus memberikan dukungan yang penuh terhadap lembaga ini, kalau perlu membantu sarana dan prasarana pendukung. Sehingga citra Solo sebagai kota budaya tidak berhenti di slogan saja, karena citra ini telah pudar dengan banyaknya mall-mall dan gedung baru.

QUO VADIS TAMAN BUDAYA JAWA TENGAH


Oleh. Yunanto Sutyastomo

Taman Budaya Jawa Tengah tak terbantahkan lagi ikut berperan dalam dinamika kesenian selama ini. Banyak peristiwa dan kegiatan di Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT) yang memiliki pengaruh pada perkembangan seni. Menilik kembali lahirnya Taman Budaya Jawa Tengah berawal dari berdirinya Pusat Kebudayaan Jawa Tengah (PKJT) di Sasono Mulyo yang dirintis oleh Gendon Humardani. Lalu berpindah tempat di Kentingan dan berubah nama menjadi Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT).

Kepindahan dari Sasono Mulyo ke Kentingan sekaligus menandai perpindahan estafet kepemimpinan dari Gendon Humardani kepada Murtidjono. Di bawah kepemimpinan Murtidjono selama kurang lebih dua dekade inilah kiprah TBJT mendapat sorotan dari masyarakat. Dengan mengakomodasi banyak kepentingan dari berbagai bentuk kesenian, seolah TBJT menjadi tempat para seniman untuk berproses. Dua dekade kepemimpinan juga melahirkan kondisi yang bersifat patronase dan ketergantungan. Tidak bisa dipungkiri bahwa TBJT seringkali melawan arus kebijakan penguasa, tapi kadang kala juga dengan kekuatan otoritasnya TBJT menjadi penguasa kesenian.

Dua hal yang menggambarkan hal tersebut dapat dilihat dari peristiwa Sastra Kontekstual dan pencekalan penyair Wiji Tukul. Sastra Kontekstual merupakan sebuah kritik terhadap mandulnya kesusastraan Indonesia. Sastra Kontekstual muncul pada diskusi sastra di TBJT tahun 1984. Kehadiran Wiji Tukul dalam kesusastraan Indonesia tidak lama setelah perdebatan Sastra Kontekstual. Puisi-puisi Wiji Tukul yang kritis membuat penguasa menjadi gerah. Maka ruang-ruang yang bisa dipakai untuk kemunculan Wiji Tukul sering kali menolak kehadirannya. TBJT yang seharusnya menjadi milik semua elemen masyarakat, ternyata tidak berlaku bagi Wiji Tukul.

Saat ini TBJT menghadapi beberapa persoalan yang mendasar untuk perkembangan ke depan. Yang pertama adalah otoritas kesenian yang kini tidak tunggal adanya. Kalau dulu kita berbicara tentang kesenian merujuk pada keberadaan TBJT, saat ini hal tersebut tidak berlaku lagi. Banyaknya kegiatan kesenian dan kelompok seni diberbagai tempat menjadi bukti bahwa peran TBJT tidak lagi sekuat dulu. Tanpa melalui TBJT para pelaku seni bisa mengaktualisasikan karya mereka dan berproses lebih jauh. Selain karena suasana kebebasan saat ini, keberadaan kelompok seni tidak lepas dari kualitas pengelolaan TBJT.

Fungsi TBJT hanya berjalan pada peran fasilitator semata. Sementara peran lain yang teramat penting yaitu sebagai dinamisator tidak terlihat sama sekali. Ide atau gagasan serta kuantitas peristiwa lebih banyak karena peran orang-orang diluar TBJT. Hanya fungsi fasilitator saja yang berjalan disebabkan pengelolaan TBJT diserahkan kepada birokrasi pemerintah. Di tangan birokrasi pemerintah TBJT tidak lagi menjadi pusat gagasan kesenian, kegiatan yang berlangsung tak lebih untuk menghabiskan dana anggaran. Akibat lebih lanjut dari hal tersebut adalah berkurangnya fungsi TBJT sebagai ruang publik. Ruang publik disini tidak semata dilihat dari fisik, tetapi lebih dari itu. Ruang publik yang dimaksud adalah perdebatan tentang segala hal mengenai kebudayaan. Dan ini tidak pernah lagi muncul dari TBJT. Lalu apa yang harus dilakukan TBJT agar berfungsi sebagai ruang public ?

Memaksimalkan TBJT sebagai ruang publik haruslah dimulai dari pemetaan kegiatan yang akan dilakukan. Selama ini kegiatan yang berlangsung di TBJT hanya sebatas pementasan belaka. Tradisi diskusi atau melakukan berbagai kajian tentang kebudayaan belum menjadi tradisi. Maka perubahan pada internal pengelolaan sangatlah penting. Dari sumber daya manusia yang ada saat ini sungguh tidak mungkin keinginan tersebut dapat terlaksana. Kebiasaan pengelola sebagai pegawai pemerintah yang sekedar menjalankan tugas dan memfasilitas kegiatan harus berubah. Perubahan paradigma berpikir bahwa TBJT adalah lembaga yang memiliki gagasan atau ide harus mulai tertanam pada pengelola. Percuma saja kalau TBJT dengan sumber daya manusia dan sumber dana yang berlimpah hanya melakukan kegiatan rutin. Persoalannya di TBJT semakin kompleks dengan kepemimpinan selama ini. Sifat patron yang dianut menjadikan regenerasi kepemimpinan terasa tersendat atau bisa dibilang stagnan. Selama dua puluh tahun terakhir tidak ada penggantian Kepala TBJT, sepanjang kurun waktu tersebut bisa dibayangkan apakah profesionalitas dan keberlanjutan pengelolaan dapat dipertanggungjawabkan ?

Hal yang harus dibayar adalah citra TBJT yang semakin redup diantara kemunculan komunitas-komunitas budaya. Pengelola harus mengawalinya dengan profesionalitas kerja mereka. Bahwa mereka harus sadar dirinya bukan birokrat pemerintah semata, tetapi juga konseptor seni. Ini perlu ditanamkan dalam-dalam di jajaran pengelola TBJT.

Hal berikut yang juga perlu menjadi kajian pengembanngan TBJT adalah ruang lingkup kegiatan. Selama ini ruang lingkup kegiatan TBJT terbatas hanya di kota Solo dan sekitarnya. Padahal dari namanya saja yang tertera Jawa Tengah, maka sudah seharusnya TBJT melibatkan semua pelaku seni di Jawa Tengah.

Bertambahnya ruang lingkup ini juga harus disertai dengan kerja lain yaitu pentingnya pendataan atau pedokumentasian komunitas seni. Pendokumentasian komunitas seni ini sangat penting , karena akan memudahkan melihat perkembangan kesenian di tingkat Jawa Tengah. Tentu saja dalam perjalanannya nanti bisa dipastikan ada pasang surut pertumbuhan komunitas seni, tetapi justru untuk itulah pedokumentasian diperlukan. Selama ini kita kurang tahu sebab-sebab mati dan tumbuhnya komunitas seni. Terutama hal ini dibutuhkan untuk seni-seni tradisi.

Yang menjadi kendala lain adalah kelembagaan TBJT yang secara structural pemerintahn berada dalam wewenang Pemerintah Propinsi Jawa Tengah. Kewenangan yang berpindah dari pemerintah pusat kepada propinsi dikarenakan adanya otonomi daerah. Perpindahan ini mengakibatkan bertambahnya anggaran yang keluar dari pemerintah propinsi. Persoalannya adalah TBJT sama sekali tidak mampu membiayai sendiri, dan dianggap membebani anggaran. Sampai kemudian muncul isu bahwa TBJT akan berubah menjadi lembaga yang profit. Ini adalah bukti bahwa Negara belum mampu menyediakan ruang public bagi perkembangan kebudayaan. Maka cita-cita dan masa depan TBJT masih menjadi tanda Tanya besar bagi kita.