Senin, 04 Januari 2010

Refleksi Akhir Tahun Kota Solo

Heri Priyatmoko

Malam itu, bulan mengirimkan sinarnya tidak terlalu terang. Hawanya cukup gerah. Rido yang tidur di ubin tak bertikar, tetap basah oleh keringat. Lelaki itu bangun, membuka pintu pagar dan berjalan ke arah warung Mbak Arum yang jaraknya hanya sepelemparan batu.

“Tumben jam segini baru nonggol?” sapa pemilik warung hangat. Dari kejauhan suara kenthongan bertalu-talu. Pertanda malam memang larut.


“Di rumah panasnya minta ampun,” jawab Rido meraih buku catatan bon untuk kepet-kepet.

“Ini es jeruk kesukaanmu,” tanpa diminta, Mbak Arum menyodorkan gelas itu di atas meja.

“Terimakasih, mbak. Lha Mas Yatmo ke mana, kok nggak kelihatan batang hidungnya?” tanya Rido clingak-clinguk, kemudian tangannya meraih rokok dalam lodong, mengambil sebatang, menyalakan dan mengisapnya dalam-dalam.

“Tadi setelah habis bantu buka warung, dia pamit katanya mau diskusi membahas refleksi akhir tahun Kota Solo,” ujar perempuan berparas manis itu.

Sebentar lagi tahun 2009 segera meninggalkan kita. Ada kegiatan menarik yang muncul menjelang tutup tahun, yaitu membuat pelaporan kerja selama setahun. Kemudian disambung berefleksi apa yang telah dicapai, dan apa yang kiranya dapat digapai pada masa (tahun) depan.

“Memangnya apa yang dibahas untuk refleksi Kota Bengawan ini?” tanya Mbak Arum seraya menumpuk piring yang habis dilap.

“Lebih baiknya yang dibicarakan berupa sesuatu yang sekiranya dianggap kurang memuaskan rakyat. Kalau pencapaian yang bagus biasanya dibahas dalam ulang tahun kota sebagai kado,” Rido menanggapi santai.

“Sebagai orang kecil, saya turut prihatin dengan ontran-ontran Taman Sriwedari yang hingga kini belum ada titik terang dari kedua belah pihak yang bersengketa. Ditambah pula kasus Benteng Vastenburg yang kelihatan adem-adem wae, padahal warga tahu itu juga belum ada penyelesaian. Kedua masalah sengketa hak kepemilikan ini justru menimpa pada bangunan dan kompleks taman yang sarat nilai sejarah lokal yang tinggi,” Mbak Arum menghela nafas.

Suara lolongan knalpot motor kian mendekat, ternyata Mas Yatmo sudah datang.

“Sampeyan tadi dengan teman-teman membahas apa saja?” Mas Yatmo yang belum sempat menaruh pantatnya di kursi sudah ditembak pertanyaan oleh Rido.

Setelah duduk dan menyambar cangkir plastik berisi wedang teh, Mas Yatmo nyerocos, “Ada banyak. Soal aksi kejahatan di kota ini yang grafiknya meningkat dan perampokan di ruang publik kian bikin miris.

Ada usulan, Solo perlu meniru Surabaya yang mempunyai radio seputar kejadian kota. Warga yang melihat insiden, langsung mengirim SMS atau menelepon ke operator. Dari situ, pihak kepolisian dan masyarakat bisa memantau. Di Surabaya, tidak sedikit perampok yang gagal kabur dan ketangkap karena sudah diketahui identitasnya berkat informasi radio”.

“Walah, masyarakat Solo kecolongan, Do,” tambah Mas Yatmo pendek, bermimik serius.

“Maksudnya?” Rido mengerutkan dahi, semakin penasaran diikuti tangannya mengupas bungkus arem-arem.

“Warga yang awalnya mengetahui pembangunan di utara Terminal Tirtonadi untuk pelebaran terminal karuan saja kaget, karena di situ ternyata didirikan bangunan bisnis. Jelas ini akan menambah keruwetan lalu-lintas, rawan aksi kejahatan dan pasar tradisional di sekitar tergencet.

“Yotalah temen, memori kolektif masyarakat tentang keindahan Taman Tirtonadi yang dituangkan Gesang dalam lagu ‘Taman Tirtonadi’, bakal ikutan terhapus pula,” suara Mbak Arum terdengar berat, kecewa lantaran masih menyimpan foto tempo doeloe taman karya Mangkunegoro VII yang mempesona itu.

Mbak Arum pun kelingan satu petikan bait lagu itu, ”Tirtonadi yang permai, di tepi sungai”.

Kota Solo, di dalam tutup buku tahun 2009 banyak PR yang segera diselesaikan dan ada agenda pembangunan yang tak memihak warga kota.

SUARA MERDEKA, 21/12/09

Tidak ada komentar: