Oleh: Haris Firdaus
Sebuah Pigura Tua Tanpa Potret
Ayah sangat menyukai pigura tua tanpa potret
yang ia gantung di kamar mandi. Pigura itu
mengingatkan ia pada cinta pertamanya.
Cinta pertamanya membawa ayah pada cerita
fiksi dan bau deodoran remaja. “Kalau sudah begitu,
ayah lebih suka memandang kehidupan lewat
halaman tabloid porno.”
Pigura itu sering mendengarkan ayah membaca
puisi di kamar mandi. Puisi yang dibaca ayah
membawa sepi dan musim kemarau ke kamar
mandi. “Pigura itu seharusnya diisi dengan buku
dan kenangan cetakan lama yang tak lagi dicetak
ulang,” kata ayah.
2007
Aku Menemukan Kita dan Masa Lalu
Aku menemukan kita dan masa lalu
dalam pigura bekas di sebuah
toko loak tengah kota
saat anak-anak sibuk bermimpi
menyusuri masa lalu dengan mesin
yang dikeluarkan Doraemon
dari kantong ajaibnya.
Mereka melewati lorong yang
setengah terang warna-warni
dan setengah gelap,
sambil bercanda tentang apakah
yang dilakukan ibu mereka
kala mereka menangis saat dulu
masih bayi.
“Kalau kau jadi Doraemon,
akankah kau juga mengeluarkan
mesin waktu itu demi masa lalu kita
yang penuh bau asam, tapi juga
semacam bahagia?”
Kau diam, dan anak-anak itu
masih sibuk berdebat tentang
jawaban dari khayalan mereka.
“Ibu mungkin mengayun-ayunkan
kita dalam ayunan dari kain lusuh
yang biasa ia gunakan buat
menggendong kita,” kata salah
seorang anak, sok tahu.
“Kalau kau jadi anak-anak,
akankah kau berdebat tentang
seandainya kita masih bersama
menyusuri pohon cemara dan
memetik daun-daun hijau, sambil
sesekali saling pandang
dan malu-malu?”
2007
dari Kertas Palsu
“Kita tinggal di negara yang membangun
pigura dari kertas palsu yang berkualitas
buruk, Nak,” kata ayah suatu kali.
Tapi di sekolah, guru-guru memajang dan
memamerkan pigura-pigura itu dengan
bangga.
Saya pandangi wajah-wajah mereka
suatu kali, lalu saya temukan mereka
adalah juga foto-foto tua yang kusam
dan diselubungi nyamuk warna hitam.
“Merekalah yang sebenarnya menyelubungi
nyamuk warna hitam itu,” ayah mengingatkan.
***
Para guru itu mungkin datang dari sebuah dongeng
tentang para budak yang diperintahkan raksasa
buat membodohi anak kecil yang ingin belajar
membaca.
Mungkin pula, mereka datang ke negeri ini
lewat sebuah pesan singkat dari handphone
yang tersambung lewat internet ke sebuah
warung kopi di mana para peronda sedang
berjaga ditemani kopi pahit hidup mereka.
“Malam itu, negara tidak ikut minum kopi, Nak.
Ia sudah capek karena siang tadi kelelahan
membuat pigura.”
2007
Aku senantiasa berjaga untuknya
demi semacam rahasia dari pigura
masa lalu
Dan tangan ibu tak henti-hentinya siaga
di dekat pigura tua bergambar ayah
yang gemuk.
Matanya seperti menangkap
bau bulan yang lama tak diciumnya.
“Bisakah kau cuci semua perabotan
masak kita, Nak? Hari ini aku akan masak
jauh lebih banyak karena ia bersama kita.”
***
Hari ini, ia akan datang untuk
merasakan sup ayam kesukaannya
yang di surga tak tersedia,
lalu segera pergi.
Apakah di surga ada pigura bergambar
ibu yang cantik? Apakah di sana ayah
juga akan berjaga seperti kau yang berjaga?
“Tentu. Ia akan berjaga jauh lebih lama
dan memasak jauh lebih banyak
dari biasanya.”
2007
(Dimuat dalam Buletin Sastra Litera Edisi 1 Februari 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar