Rabu, 23 Januari 2008

Narasi: Sebuah Catatan

Oleh: Ridha al Qadri

Setiap narasi fiksi mempunyai perhitungan penceritaan dan efek pembacaan tertentu. Pengarang, atau sastrawan, memilih cara-cara penceritaan supaya pembaca masuk dan mengerti dunia yang diciptakan. Kata-kata disusun sebagai medium untuk mengantarkan lapis-lapis makna dan dunia yang dimungkinkan terpahami. Seperti pernyataan Rolland Barthes bahwa “membaca sebuah narasi tidak hanya melalui satu kata ke kata yang lain, melainkan juga melalui satu level ke level lainnya.”

Pada paragraf awal Ronggeng Dukuh Paruk deskripsi alam yang panjang menimbulkan narasi situasi dari alur hidup yang sulit: “Sepasang burung bangau melayang meniti angin....mengapung berjam-jam lamanya. Suaranya melengking seperti keluhan panjang. Air. Kedua unggas itu telah melayang beratus-ratus kilometer mencari genangan air...” Bagian awal dari novel itu narator bukanlah wakil dari pembaca, yang meminjamkan mata dan pendengaran. Pembaca seakan secara langsung mempersepsi gambaran fiktif. Ahmad Tohari tidak menyelipkan subyektifitas. Ia seperti tidak hadir dalam narasi. Pembaca seolah tidak mendengar suara pencerita. Sedang kenyataan yang visual dan yang didengar tertulis atau tampil begitu saja. Sehingga ada yang bergerak dalam pikiran pembaca.

Namun, tiba-tiba sudut penceritaan berubah ketika memasuki bagian kedua. Narator hadir atau eksplisit sebagai salah satu karakter utama dalam cerita, yakni Rasus. Sedangkan pada bagian setting cerita yang lain tidak memungkinkan karakter Rasus muncul sekaligus sebagai narator. Hal ini berlangsung seperti ketika pertemuan dan dialog Kertareja dan Dower. Pada saat itu pengarang telah membelokkan dan mengambil alih sudut penceritaan. Pengarang tidak sebagai tokoh cerita tapi tahu banyak tentang cerita. Dia seperti mengamati dan melaporkan kembali pada pembaca dengan deskripsi dialog dan detail. Di sana suara narator terdengar melalui komentar seperti “Kertareja sedang gelisah” dan “hati Dower makin kacau”. Pada novel Ronggeng Dukuh Paruk secara inkonsisten narator bergantian tidak hadir dalam cerita, menjadi salah satu tokoh, dan sebagai pengarang.

Kewenangan pengarang sebagai narator adalah upaya meyakinkan pembaca pada pengenalan cerita itu mendekati kenyataan. Pada cerita panjang Sri Sumarah, Umar Kayam sebagai pengarang dan narator yang bukan bagian dalam cerita banyak mengerti rentetan sejarah tokoh utama. Bahkan pikiran dan perasaan tokoh mayoritas dapat dikenali dari deskripsi narator, seperti dalam sebuah paragraf ini: “sebagai layaknya seorang perempuan anak priyayi Sri diam saja. Sebab pertanyaan “mengerti” tidak untuk dijawab mengerti, karena ‘mengerti’ adalah mencari untuk mengerti.” Di sana realitas terwakilkan melalui kewenangan pengarang. Narator dan pengarang adalah sama.

Narasi seperti ini lebih menekankan kebutuhan memberi informasi. Informasi Sri Sumarah diletakkan dari kode kultural yang jadi fokus tematik, yakni citra wanita jawa. Narator jadi perantara, mereduksi, dan kadang melebihkan realitas yang dapat diserap pembaca. Akibatnya, realitas fiksi diserap pembaca secara tak langsung. Ruang artikulasi pembaca jadi sempit dan takluk pada pencerita. Referensialitas peristiwa adalah pembekuan tema. Sedang pemaknaan pembaca cenderung tunggal dan satu arah dari perantaraan narator.

Pada narasi lain narator dapat jadi wakil indera pembaca namun pikiran dan perasaan tokoh juga dipresentasikan oleh dialog tokoh sendiri. Ketika Franz Kafka membuka Metamorfosa dengan “Ketika Gregor Samsa bangun suatu pagi dari mimpi-mimpi buruknya” terjadi narasi komunikasi interpersonal yang diteruskan dengan “dia menemukan dirinya berubah di atas tempat tidurnya menjadi seekor kecoa yang menakutkan. Dia menelentang di atas punggungnya yang keras seperti kulit kerang itu...” Pada momen naratif ini pencerita dan tokoh bergantian atau bersamaan menunjukkan kondisi yang ada. Kemudian monolog pendek tokoh “apa yang terjadi padaku?” menguatkan kesadaran atas kondisinya yang menyedihkan. Di sana kebutuhan naratif lebih pada subyektifitas tokoh. Pengalaman tokoh tragis itu sebagai simbol keadaan masyarakat industri modern dilanjutkan monolog panjang Gregor Samsa di tempat tidur: “O Tuhan...pekerjaan yang sangat melelahkan yang pernah kupilih! Selalu bergerak siang dan malam...aku terbebani dengan ketegangan semua perjalanan ini, cemas akan jadwal kereta api, makan yang tidak enak dan tidak teratur, pertemuan dengan wajah-wajah yang selalu berubah yang tak memungkinkan adanya persahabatan yang abadi dan hangat”.

Kenyataan yang lain menunjukkan bahwa bahasa menimbulkan relasi yang unik terhadap narasi. Kalimat-kalimat narator kadang dimaksudkan merujuk keadaan tertentu dengan menggambarkannya secara tak langsung. Rumusan naratif seperti ini adalah meyakinkan ada sesuatu di balik kalimat. Seperti ketika Gao Xingjian tidak memakai kata lelah, dingin, dan lama dalam paragraf awal Gunung Jiwa: “kau menaiki bis yang berkoridor panjang. Dan sejak tadi pagi, bis yang dirancang untuk angkutan kota ini, selama dua belas jam terguncang-guncang di atas jalan-jalan pegunungan yang tak terawat, penuh dengan lubang dan tanjakan, sebelum tiba di desa kecil ini, di Selatan.“ Meski narator seperti punya kewenangan atau banyak tahu terhadap cerita, efek naratif itu memungkinkan ditemukan oleh pembaca banyak hal dibalik kalimat. Strategi tekstual Gunung Jiwa adalah seni narasi yang memberi atau membungkus kesan-kesan inheren dalam kalimat. Pembaca tidak hanya dibawa pada dunia cerita, namun juga efek estetik yang memungkinkan diserap. Narator jadi perantara dunia cerita, namun pembaca diajak membayangkan dan merasakan guncangan selama dua belas jam di pegunungan. Di sanalah sesuatu di balik kalimat muncul di benak pembaca.

Strategi naratif yang lain kadang meletakkan kontradiksi di antara tema dan karakter. Stategi ini terjadi dalam cerpen Sebuah Pertemuan karya James Joyce. Narasi cerita dituturkan oleh seorang anak. Cerita diawali keputusan tiga anak, termasuk narator, untuk membolos dari sekolah esok hari. Ternyata salah satu anak berkhianat dan dua anak yang lain nekat membolos. Di sebuah bagian paragraf narator menuturkan: “...kami mengatur sebuah penyerangan; tetapi serangan itu gagal karena kami setidaknya harus beranggotakan tiga orang untuk melakukannya. Kami marah-marah karena Leo tidak ikut dan mengatakan bahwa dia itu penakut...” Kemudian, setelah dua anak yang merasa pemberani itu lama berjalan, mereka bertemu remaja yang membuat narator ketakutan: “......tetapi jantungku berdetak cepat karena takut kalau-kalau dia akan menangkap tumitku...suaraku terdengar mempunyai logat seperti keberanian yang dipaksakan dan aku malu dengan sikap pengecutku.” Pada narasi itu pengarang melepaskan diri dari kemungkinan jadi narator. Kondisi kontradiktif dan keseluruhan cerita seolah dituturkan tokoh fiktif, atau anak, di dalam cerita itu sendiri.

Jadi, setiap cerita memiliki perbedaan strategi naratif sesuai kebutuhan narator menunjukkan realitas tertentu. Ada kelebihan dan kekurangan masing-masing sudut penceritaan. Demikian, catatan mengenai narasi sementara dihentikan.

Kartasura, 28 Pebruari 2007

(Dimuat di Buletin Sastra Pawon, Solo, Edisi Maret 2007)

Tidak ada komentar: