Minggu, 08 Juni 2008

Mengingat Kembali Pancasila

Oleh: Bandung Mawardi


Pancasila. Masihkah ada perhatian untuk Pancasila pada hari ini? Pancasila seakan terlupa dan kurang memiliki arti dalam pelbagai peristiwa dan kisah di Indonesia. Soekarno dulu (1Juni 1945) menghendaki bahwa Pancasila bisa menjadi weltanschauung yang memungkinkan rakyat Indonesia bisa hidup bersama dengan prinsip kebangsaan Indonesia, internasionalisme atau perikemanusiaan, mufakat atau demokrasi, kesejahteraan sosial, dan ketuhanan. Prinsip-prinsip itu dikatakan Soekarno sebagai Pancasila dan diterima sebagai dasar negara Indonesia.

Pancasila patut dibaca dan ditafsirkan kembali pada hari ini ketika ada sekian fakta yang tragis. Hak dan kebebasan beragama mulai terancam dengan diskriminasi dan represi. Kasus Ahmadiyah menjadi bukti melemahnya pluralisme dan realisasi dari nilai-nilai Pancasila. Tindakan pelarangan terhadap Ahmadiyah merepresentasikan ketidakmampuan membaca dan menafsirkan Pancasila secara inklusif.

Kontroversi terhadap Ahmadiyah melibatkan pelbagai kepentingan yang mengatasnamakan agama dan kekuasaan. Kontroversi itu melahirkan risiko kekerasan, tindakan represif, dan ketiadaan proteksi dari pemerintah. Pelbagai pihak melakukan aksi dan reaksi dengan argumentasi-argumentasi yang cenderung berseberangan antara klaim kebenaran agama dan klaim konstitusional. Kasus Ahmadiyah adalah kasus yang kentara membuktikan ada pelemahan kepercayaan terhadap Pancasila sebagai acuan hidup bersama di Indonesia.

Mohammad Hatta dalam pemahaman tentang Pancasila menyebutkan bahwa Pancasila terdiri atas fundamen politik dan fundamen moral (etik-agama). Fundamen itu merepresentasikan kondisi bangsa Indonesia yang mejemuk tapi memiliki keinginan untuk persatuan dan kesatuan. Konsekuensi dari keberadaan fundamen moral atau etik-agama adalah kesadaran atas pluralisme dan multikulturalisme yang inklusif. Pancasila secara substansial menjadikan sikap keberagamaan (religiusitas) sebagai basis primer tapi tidak menghendaki suatu dominasi dan ekslusivitas.

Pancasila mungkin terlupa dalam kisah korupsi di Indonesia yang mencengangkan dan memprihatinkan. Korupsi terus terjadi dengan kerugian besar dalam hal keuangan negara. Implikasi dari kerugian itu adalah hak rakyat atas kesejahteraan menjadi tumbal karena uang negara terkuras oleh para koruptor. Korupsi di Indonesia terjadi dalam pelbagai lini tanpa ada ketakutan terhadap hukum dan etika sosial. Kekuasaan masih jadi godaan besar untuk tindakan korupsi yang mengakali dan merugikan hak dan kepentingan rakyat.

Pancasila patut untuk dibaca dan ditafsirkan kembali untuk menjadi acuan etis pejabat dan jajaran birokrat. Kesadaran etis itu mulai menghilang karena pertarungan kepentingan kekusaan dan godaan untuk menikmati uang melimpah untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Kisah tragis yang terjadi di Indonesia adalah korupsi terus menjadi penyakit yang susah disembuhkan. Korupsi itu terjadi dalam kondisi ekonomi dan kesejahteraan rakyat yang tak menentu dan krisis.

Persoalan kesejahteraan rakyat kerap menjadi momok dan tragedi. Tanggung jawab negara atas kesejahteraan rakyat susah direalisasikan dengan melihat fakta pengelolaan sumber daya alam dan aset negara. Pelbagai sumber daya alam di Indonesia yang memungkinkan realisasi kesejahteraan gagal dibuktikan karena ada kepentingan investasi kapitalisme global dan penguasaan oleh pihak-pihak asing. Hasil dari pertambangan, hutan, atau laut justru mengalir ke kantong asing dan pejabat dalam porsi besar.

Pancasila tentu gagal ditafsirkan dan direalisasikan dalam kasus pengelolaan sumber daya alam dan aset negara untuk kesejahteraan rakyat. Fakta tragis justru dialami oleh rakyat yang mesti menangggung beban dan risiko. Rakyat susah dan kehilangan hak atas kesejahteraan dan keadilan sosial karena tidak tanggung jawab atas kasus lumpur Lapindo, kemiskinan di kompleks pertambangan, dan penggusuran untuk proyek. Kesejahtreraan dan keadilan adalah teka teki yang belum bisa menemukan jawaban atau solusi ampuh.

Kisah tragis mutakhir adalah kenaikan harga BBM. Keputusan pemerintah untuk menaikkan harga BBM menjadi momok besar yang menimbulkan keresahan dan persoalan kompleks. Penolakan yang dilakukan oleh pelbagai pihak menemui kegagalan karena perbedaan pertimbangan dan argumentasi. Pemerintah tetap melakukan pencabutan subsidi dan menaikkan BBM dengan dalih menyelamatkan kondisi perekonomian bangsa. Argumentasi pemerintah menjadi pembenaran tapi kurang relevan dengan beban berat yang harus ditanggung oleh rakyat.

Kasus kenaikan harga BBM justru menimbulkan risiko besar. Kompensasi BLT menjadi kebijakan yang sembrono karena tidak memperhitungkan efek sosial, ekonomi, dan politik. Pembagian BLT yang tidak merata atau salah sasaran justru membuat rakyat mengalami represi dan depresi psikologis dan sosiologis. Kenaikan harga BBM yang memicu kenaikan harga pelbagai barang dan jasa merupakan risiko besar tanpa ada antisipasi dan solusi yang meringankan. Pertanyaan kritis yang patut diajukan atas kenaikan harga BBM adalah adakah realisasi nilai-nilai Pancasila untuk pemenuhan hak kesejahteraan rakyat?

Kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM terus mendapatkan resistensi dan kritik. Demonstrasi menolak kenaikan BBM yang dilakukan oleh mahasiswa justru dihadapi dengan represif dan kekerasan. Kasus penyerbuan dan penganiayaan aparat polisi terhadap mahasiswa di kampus Universitas Nasional Jakarta menimbulkan polemik dan kontroversi. Komnasham menengarai ada tindakan pelanggaran HAM dalam kasus Unas. HAM mulai jadi taruhan atas kebijakan pemerintah. Kasus itu merepresentasikan bahwa nilai-nilai Pancasila belum mungkin direalisasikan dalam perlindungan hak atas nilai kemanusiaan, moralitas, keadilan, ekonomi, dan hukum.

Pesimisme atas peran Pancasila sebagai ideologi dan pandangan hidup bangsa Indonesia pada hari ini menjadi taruhan dengan risiko besar. Pesimisme itu ada karena keberadaan pelbagai fakta tragis yang tidak merepresentasikan dan merealisasikan nilai-nilai dalam Pancasila. Begitu.


Dimuat di Pelita (5 Juni 2oo8)

Tidak ada komentar: