Minggu, 08 Juni 2008

Menggali Potensi Wisata Arsip Di Kota Solo

Oleh: Heri Priyatmoko


Pariwisata adalah kegiatan melakukan perjalanan dengan tujuan mencari kepuasan, mendapatkan kenikmatan, mengetahui sesuatu, memperbaiki kesehatan, menunaikan tugas, menikmati olahraga atau istirahat, dan berziarah. Sedangkan, wisatawan ialah orang yang bepergian dari tempat tinggalnya untuk berkunjung ke tempat lain dengan menikmati perjalanan dari kunjungannya itu. Hingga sekarang terdapat puluhan definisi lain tentang pariwisata. Semua definisi mayoritas mencerminkan kepentingan masing-masing. Perbedaan kepentingan ini yang menyebabkan adanya berbagai jenis pariwisata (James J. Spillane, 1990). Biasanya kalau berbicara masalah tempat wisata, yang ada di benak kita adalah obyek yang indah dan menarik, seperti pantai, gunung, hutan dan candi.

Meski tidak memiliki obyek itu, Kota Solo atau Surakarta mencitrakan diri sebagai Kota Wisata, tidak berlebihan. Memang, Kota Bengawan yang sudah berumur dua abad lebih ini, memiliki objek lain yang marketable. Sebut saja, wisata sejarah (bekas peninggalan Keraton Pajang dan Kartasura, Keraton Mangkunegaran dan Kasunanan), wisata belanja (Pasar Klewer, batik Kauman dan Laweyan), wisata ziarah (Astana Pajimatan, Kyai Pabelan dan makam Ki Gedhe Sala), wisata old town (permukiman etnis Cina-Balong, Arab-Pasar Kliwon, Jawa-Kauman dan Eropa-Loji Wetan), dan wisata kuliner (nasi liwet, srabi, cabuk rambak dan gudeg ceker), serta wisata budaya (sekaten, kirab suro dan malam selikuran).

”Harta karun”

Dari sekian tawaran, menu selain itu yang belum dilirik dan digali oleh masyarakat dan Pemerintah Kota berupa wisata arsip. Lantas, dimana saja obyek wisata arsip itu berada? Pertama, Sasono Pustoko di Keraton Kasunanan. Pada dasarnya, Sasono Pustoko adalah lembaga yang didirikan tahun 1920-an untuk mengurusi pengoleksian serat dan naskah yang dihasilkan oleh aristokrat dan pujangga keraton. Karya sastra yang terkoleksi di antaranya, Serat Rarya Saraya yang berisi catatan perjalanan K.P.A Kusumadiningrat ke pelosok desa. Keterangan tentang lagu-lagu permainan (dolanan) anak ada di dalamnya. Kemudian, Serat Murtasiyah yang berisi ajaran bagi seorang istri dalam melaksanakan kewajibannya terhadap suami. Koran langka yang tidak mudah ditemukan di tempat lain, ada di sana. Misalnya, De Nieuwe Vorstenlanden, Darmo Kando, Bromontani, dan Ik Po.

Kedua, Rekso Pustoko di Pura Mangkunegaran. ”Belajar dapat ditempuh dari membaca buku dan pengalaman praktis”, itulah pitutur KGPAA Mangkunegaran IV ketika mendirikan Rekso Pustoko tepatnya pada 11 Agustus 1867. Menukil kata reksa (merawat) dan pustaka (buku), cita-citanya mendirikan Rekso Pustoko selain untuk mengurusi buku-buku koleksi Pura Mangkunegaran, juga menjadikannya sebagai sentra budaya baca sejak dini di kalangan keluarga besar Mangkunegaran dan abdi dalem. Sampai hari ini, kiranya cita-cita KGPAA Mangkunegaran IV itu sepertinya telah terwujud. Pasalnya, baik oleh pelajar atau mahasiswa, wisatawan, budayawan, atau sejarawan masih menggunakannya sebagai tempat menimba ilmu dari beragam kekayaan data di dalamnya.

Koleksi yang ditonjolkan di perpustakaan ini seperti buku Pawukon, Babad Pacinan 1741-1743, Babad Kartasuro 1675, Babad Kemalon 16 Safar 1724, dan Kitab Suci Alquran dalam huruf Jawa. Masih terdapat puluhan ribu koleksi buku-buku kuna dari berbagai macam bahasa, mulai dari Jawa, Belanda, Prancis, Inggris dan Jerman. Ada juga foto-foto Solo tempo dulu. Contoh, Stasiun KA Balapan Solo, Taman Balekambang, Pacuan Kuda Manahan, Pasar Legi, dan Van Devender School (kini SMPN 10 Solo), serta foto stasiun bus yang di tahun 1867 dinamakan Stasiun Kota

Ketiga, perpustakaan Radya Pustaka di kompleks Taman Sriwedari (Kebon Rojo). Ada sekitar 3.000 buku kuno, di antaranya Babad Mataram dan Ramalan Jayabaya yang bertuliskan huruf Jawa. Buku sebagian masih berbentuk naskah huruf Jawa kuno, sebagian lagi telah dialihbahasakan dan diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Keberadaan buku-buku kuno dalam lemari kaca itu seolah memaksa kita untuk sejenak menengok masa lalu. Bukan sekadar bernostalgia, melainkan membuka ruang kesadaran agar manusia selalu mengambil hikmah dari segala kejadian di masa silam. Selain berburu buku, hal yang bisa kita rasakan manakala berkunjung ke Radya Pustaka, tidak lain mengenang jejak kebesaran pujangga terbesar dan terakhir di Jawa, Ronggowarsito.

Nama Ronggowarsito senantiasa dikenang sebagai pujangga mumpuni yang karya-karyanya tetap abadi hingga sekarang. Dari tangan pujangga asal Keraton Surakarta ini lahir berbagai karya sastra bermutu tinggi yang sarat nilai kemanusiaan. Buku-bukunya membahas falsafah, ilmu kebatinan, primbon, kisah raja, sejarah, lakon wayang, dongeng, syair, adat kesusilaan, dan sebagainya. Namun sebagian masyarakat Jawa, terutama rakyat jelata, sering mengidentikkan Ronggowarsito dengan karangan-karangan yang memadukan kesusastraan dengan ramalan yang penuh harapan, perenungan dan perjuangan.

Karya-karya besarnya yang terkenal sampai saat ini adalah Serat Kalatidha yang berisi gambaran zaman penjajahan yang disebut ”zaman edan”. Ada kitab Jaka Lodhang yang memuat ramalan akan datangnya zaman baik, dan Sabdatama yang berisi ramalan tentang sifat zaman makmur dan tingkah laku manusia yang tamak. Ronggowarsito boleh saja tinggal sebuah nama, tapi buah pemikirannya tak pernah musnah. Dengan menembus perbedaan ruang dan waktu, banyak telaah Ronggowarsito yang relevan di masa sekarang. Contohnya saja masalah keadilan sosial, krisis moral, kemiskinan, serta upaya menghapus penjajahan gaya baru di era globalisasi ini (Dicky Risyana, 2005).

Keempat, Monumen Pers Nasional. Gedung seluas 2998 m2 ini terletak di Jl. Gajah Mada 59 Surakarta. Pada tempo dulu lebih dikenal dengan nama ”societeit”, yang dipergunakan untuk tempat pertemuan para priyayi keraton. Tempat ini pula merupakan saksi sejarah Kongres Pertama Persatuan Wartawan Indonesia pada tanggal 9 Februari 1946. Di sana, ada koran dan majalah terbitan tahun 1916-1945. Sebut saja Panorama, Matahari, De Locomotief, Mataram, Tjaja Hindia, Djawa Tengah Review, Sinpo, dan Hoakiao. Bagi peminat sejarah, itu ”harta karun” karena merupakan bukti sejarah. Bahkan, ada guyonan mendiang sejarawan Kuntowijoyo, untuk membedah masa lalu: Doraemon punya kantong ajaib, sedangkan manusia punya arsip.

Kelima, Lokananta. Sejatinya, Lokananta ialah nama gamelan para dewa di kahyangan. Nama itu diadopsi untuk perusahaan rekaman piringan hitam pertama milik negara yang berdiri pada 29 Oktober 1956. Tugas Lokananta, sebagai unit pelaksana teknik jawatan RRI, merekam dan memproduksi (menggandakan) piringan hitam untuk bahan siaran bagi 27 studio RRI seluruh Indonesia. Piringan hitam itu berisi gamelan Jawa, Bali, Sunda, dan musik daerah lainnya, lengkap dengan pesindennya. Juga musik keroncong, lengkap dengan penyanyinya. Lokananta mengoleksi puluhan ribu piringan hitam langka bisa menjadi daya tarik tersediri.

Dalam piringan tersebut, ada rekaman Bung Karno tatkala membaca teks proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Juga pidato Bung Karno ketika membuka KTT Non-Blok I tahun 1955 di Bandung. Ada lagu Indonesia Raya tiga stanza yang sempat diperdebatkan. Bagi peminat musik klasik, tempat ini adalah ”surganya”. Untuk peminat sejarah, koleksi tersebut merupakan dokumen sejarah yang terdengar.

Warisan

Demi kepentingan masa depan arsip, Pemerintah Kota Solo perlu melakukan penyuluhan tentang fungsi arsip dan kesadaran pelestarian dan pemeliharaan arsip. Orientasinya, agar salah satu warisan sejarah yang berharga itu diketahui dan dinikmati generasi berikutnya. Boleh meniru masyarakat Jakarta dengan membentuk Masyarakat Peduli Arsip (MAPA). Toh, fungsi warisan sejarah merupakan penjabaran dari Pasal 32 UUD 45 tentang Kebudayaan Bangsa.

Warisan tersebut berkaitan dengan sasaran pariwisata dalam pembangunan nasional yang terdiri beberapa butir. Pertama, mengembangkan potensi kepariwisataan menjadi kegiatan ekonomi yang dapat diandalkan memperbesar penerimaan devisa. Kedua, memperluas kesempatan lapangan kerja, terutama bagi masyarakat setempat dan mendorong pembangunan daerah. Ketiga, pariwisata diarahkan untuk memupuk rasa cinta tanah air dan bangsa serta menanamkan jiwa, semangat dan nilai-nilai luhur bangsa di samping untuk meningkatkan kegiatan ekonomi..

Keempat, usaha pengembangan kepariwisataan ditujukan pula untuk meningkatkan kualitas kebudayaan bangsa, memperkenalkan kekayaan warisan. Kelima, dalam rangka pembangunan kepariwisataan kita perlu meningkatkan langkah-langkah yang terarah dalam pengembangan objek wisata serta kegiatan promosi dan pemasarannya baik di dalam negeri maupun di luar negeri (Suara Merdeka, 29 November 2007).


Promosi

Menyadari Kota Solo tidak memiliki Sumber Daya Alam (SDA) yang dapat digali secara instant, maka pariwisata merupakan pilihan strategis untuk dikembangkan secara lebih serius. Orientasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan menggali pajak dan restribusi, kiranya perlu dievaluasi agar lebih masuk akal. Perlu kiranya hal ini dibarengi dengan kiat meningkatkan kesejahteraan agar masyarakat memiliki kemampuan lebih baik, selanjutnya berdampak terhadap kemampuan mereka memberikan kontribusi terhadap pendapatan daerah. Menciptakan atmosfer atau iklim usaha yang kondusif yang dapat menumbuhkembangkan setiap bentuk usaha di kalangan masyarakat kecil.

Dengan kepemilikan obyek potensial itu, seharusnya Pemkot tanggap peluang. Jika dibandingkan dengan kota lain di Indonesia, obyek tersebut sulit tertandingi, baik segi kuantitas maupun macam koleksinya. Masyarakat dan Pemkot bolehlah bangga dengan kepemilikan aset wisata arsip ini meski sebenarnya wisata arsip yang sudah dipromosikan oleh Badan Arsip Daerah (BAD) Propinsi Jawa Tengah beberapa tahun lalu. Hanya saja letak kelemahan Kota Solo adalah kurangnya fasilitas yang menunjang, sedangkan di Badan Arsip Daerah (BAD) Propinsi Jawa Tengah sudah mempunyai fasilitas lengkap yaitu Depo Penyimpanan Arsip Statis, Tempat Pengolahan Arsip, tempat Penyimpanan Arsip Dinamis dan fasilitas pendukung lainnya.

Memang sebaiknya setiap daerah memiliki produk unggulan. Misalnya, Jawa Timur dengan produk unggulannya wisata candi dan Yogyakarta dengan wisata budaya. Masing-masing produk wisata itu memiliki pasar yang berbeda-beda, sehingga wajar bila kota lain berhasil mendapatkan agregasi wisatawan yang lebih luas dan lebih banyak. Untuk mendapatkan wisatawan sebanyak-banyaknya, Solo jelas perlu lebih strategis membangun pariwisatanya.

Pemkot jangan lagi jual ruang publik atau tanah untuk kebutuhan investor (maraknya mal dan hotel), tapi juallah potensi ini. Masing-masing segmen pasar menghendaki produk dan tema yang berbeda-beda. Penjumlahan masing-masing pasar akan menghasilkan total pasar yang jauh lebih besar. Produk-produk pariwisata kita jelas memerlukan sentuhan-sentuhan baru, bahkan kita perlu produk-produk baru agar tak terkesan monoton dan tak terurus. Diharapkan dengan adanya produk baru (menu wisata arsip), kepariwisataan Solo semakin menggeliat. Wisata arsip dapat memberikan nuansa lain terhadap dunia pariwisata di Solo. Maka, Pemkot selekasnya mempromosikan menu wisata ini dengan strategi pemasaran Kota Solo yang handal. Karena itu, pembinaan secara terpadu dalam melakukan promosi pariwisata berpedoman kepada Sapta Dharma Depparpostel, yang mencakup: (1). Penghasilan utama devisa, (2). Profesionalisme SDM, (3). Pemberdayaan ekonomi rakyat, (4). Pembudayaan wisata nusantara, (5). Peluruhan seni budaya, (6). Pelestarian keindahan alam, (7). Keterpaduan daya upaya.

Harapan ke depannya, wisata arsip mampu menjadi bagian dari tulang punggung kemajuan Solo untuk sektor perekonomian. Potensi wisata arsip ini, di samping membangun industri pariwisata yang kelak menjadi warisan berkesinambungan (sustainable heritage) bagi generasi mendatang, tapi yang lebih utamanya sebagai bentuk sosialisasi kepada masyarakat betapa pentingnya kesadaran dan kelestarian arsip. Lalu, wisata arsip juga menjadi karateristik Kota Solo dalam program pariwisata. Saatnya, Pemerintah Pusat (terwakili ANRI dan Depbudpar) dan Pemerintah Kota Solo bergandeng tangan menampilkannya ke permukaan.

(Mendapat juara nomor 3 kategori mahasiswa di lomba karya tulis Hari Kearsipan yang diselenggarakan Arsip Nasional RI Tahun 2008)

1 komentar:

Hakimtea mengatakan...

Makasih banyak informasi wisatanya. Ikut kampanye mari Kenali dan Kunjungi Objek Wisata di Pandeglang ya :)